Sukses

Perang Bintang di Trunojoyo

Pernyataan Susno Duadji tentang makelar kasus yang bebas berkeliaran di Mabes Polri, memerahkan telinga sejumlah petinggi kepolisian. Akankah si peniup peluit bakal menemui nasib serupa dengan whistleblower lain di Indonesia?

Liputan6.com, Jakarta: Dalam rentang tiga bulan terakhir, aksi whistleblower atau sang peniup peluit membuat terhenyak kalangan korps penegak hukum berseragam cokelat. Bahkan, dua pekan terakhir, saling berbalas pernyataan dari sejumlah perwira tinggi kepolisian menghiasi halaman muka media cetak, layar televisi, dan halaman portal berita. Berita besar yang tadinya menjadi perhatian publik pun seakan terpinggirkan.

Bukan hanya mengejutkan, memang. Secara kasat mata banyak kalangan melihat telah terjadi "perang bintang" di antara sejumlah jenderal di Kepolisian Republik Indonesia yang bermarkas di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Whistleblower atau disebut pula si pembongkar kasus itu tak lain Susno Duadji. Empat bulan silam, tepatnya 24 November 2009, polisi berpangkat bintang tiga ini dicopot dari jabatan Kepala Badan Reserse Kriminal atau Kabareskrim Polri.

Berturut-turut manuver Susno dalam tiga bulan belakangan silih berganti hadir buat publik. Pertama, lelaki berusia 55 tahun ini mengeluarkan catatan berjudul Bhayangkara Sejati Setia Loyal pada Januari silam. Mantan Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Polri itu mengungkapkan bahwa Badan Reserse Kriminal Polri tidak memprioritaskan penyelidikan kasus bailout atau penyelamatan Bank Century senilai Rp 6,7 triliun.

Kemudian pada 25 Februari lampau, dalam bedah buku Bukan Testimoni Susno di Bogor, Jawa Barat, Susno menyinggung persaingan di tubuh Polri. "Saya rela berpisah dengan teman daripada berkumpul untuk berbuat kejahatan," kata pria kelahiran Pagar Alam, Sumatra Selatan, itu.

Berlanjut pada 15 Maret silam, Susno meluncurkan buku Mereka Menuduh Saya di Yogyakarta. Dia membeberkan bahwa makelar kasus alias markus punya ruangan di samping ruangan Kepala Kepolisian RI atau Kapolri, dan aman dari gangguan apapun. Dengan kata lain, markus ada dan masih banyak berkeliaran di Mabes Polri.

Pernyataan Susno yang paling mengejutkan adalah di hadapan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum pada Kamis pekan ketiga Maret ini. Di depan Satgas, Susno menuding Brigadir Jenderal EI dan RE serta sejumlah perwira di Mabes Polri terlibat manipulasi pengusutan pajak. Menurut dia, barang bukti senilai hampir Rp 25 miliar dicairkan tanpa prosedur yang wajar.

Sontak tudingan ini menohok institusi kepolisian. Sebagai eks jenderal yang pernah menjadi petinggi di Mabes Polri, tentu Susno tidak asal cuap, kredibilitas dan nama baik menjadi taruhannya. "Saya sudah beri umpan. Jika diperlukan, panggil saya," tegas Susno terkait lambannya respons dari Mabes Polri.

Seiring dengan makin derasnya desakan terhadap Polri untuk mengungkap kebenaran cerita Susno, Jumat pekan kemarin Mabes Polri menggelar jumpa pers. Bisa ditebak, Juru Bicara Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Edward Aritonang menegaskan belum ada bukti atas tuduhan Susno tadi. Bahkan, dua jenderal yang disebut Susno sebagai markus, yaitu Brigadir Jenderal Pol. Edmond Ilyas dan Brigjen Pol. Raja Erizman, balik berniat memperkarakan Susno.

Kendati demikian, bantahan Mabes Polri tak membuat kasus ini mereda. Sebaliknya, dukungan terus mengalir kepada Susno, demikian pula desakan terhadap Polri agar bersikap terbuka mengusut kasus ini. Tak kurang dari Satgas Pemberantasan Mafia Hukum hingga Komisi Kepolisian menyatakan dukungan atas keberanian Susno. Alih-alih menyelidiki kebenaran adanya markus, Mabes Polri menyatakan Susno sebagai tersangka pencemaran nama baik, usai yang bersangkutan diperiksa.

Tentu saja, penetapan status tersangka itu membingungkan banyak pihak. Ketika mereka yang ditengarai terlibat belum diperiksa, Susno malah kemudian jadi tersangka. Bahkan, keberadaan Gayus H. Tambunan dan Andi Kosasih pun tak jelas untuk dimintai keterangan. "Jaksa belum diperiksa, Andi Kosasih masih dicari, kemudian orang sudah jadi tersangka dalam kasus pencemaran nama baik," ujar Ketua Divisi Hukum Indonesia Police Watch Johnson Panjaitan.

Dan tiba-tiba, Kapolri Jenderal Pol. Bambang Hendarso Danuri mengatakan bahwa memang ditemukan keganjilan dalam pengusutan kasus ini. "Ada kasus dengan predikat crime corruption yang tidak dilakukan penahanan. Dalam crime corruption, mutlak tersangka harus ditahan," ujarnya. Tentu saja ini bertolak belakang dengan kesimpulan Mabes Polri sebelumnya yang mengatakan semuanya sesuai prosedur.

Terlepas dari pernyataan Kapolri, boleh dikatakan tindakan Susno bukan tanpa bahaya, ia terancam menjadi pesakitan. Terlebih, nasib sejumlah peniup peluit di republik ini berujung status tersangka bahkan kurungan badan. Sekalipun demikian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah berjanji akan memperhatikan si peniup peluit dalam upaya pemberantasan korupsi.

Dalam situs Kompasiana.com pada 9 Desember 2009, Harrybudiyanto menulis, ada tiga laki-laki peniup peluit di Indonesia yang patut dikenang. Mereka adalah Khairiansyah Salman, Probosutedjo, dan Vincentius Amin Sutanto. Ketiganya sama-sama menjadi peniup peluit yang mampu membongkar mega skandal korupsi di Indonesia. Alih-alih keberanian mereka diberi penghargaan, justru mereka diganjar dengan status tersangka.

Khairiansyah Salman merupakan auditor Badan Pemeriksa Keuangan yang sedang melakukan audit investigatif di Komisi Pemilihan Umum. Dalam perkembangannya, Mulyana W. Kusumah (anggota KPU) berusaha melakukan penyuapan agar temuan BPK tidak dimasukkan dalam laporan. Upaya penyuapan tersebut dilaporkan Khairiansyah kepada atasannya (Hasan Bisri) dan kepada KPK. Mendapat laporan tersebut, KPK bergerak cepat dengan menangkap Mulyana W. Kusumah di Hotel Ibis, Jakarta, dan esoknya Kantor KPU segera digeledah. Sayang, sebagai peniup peluit Khairiansyah justru ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus lain.

Probosutedjo dikenal sebagai pengusaha dan merupakan adik tiri mantan penguasa Orde Baru, mendiang Soeharto. Keresahannya dipermainkan oleh proses hukum di Indonesia membuatnya melapor kepada KPK. Lembaga antikorupsi itu juga bergerak dengan sangat cepat dan akhirnya berhasil menangkap broker-broker mafia peradilan yang merupakan pegawai Mahkamah Agung dan pengacara yang pensiunan hakim tinggi. Senasib dengan Khairiansyah, Probosutedjo segera digelandang ke balik jeruji dalam kasus yang sedang dihadapinya dan dirasakannya ada permainan mafia peradilan di situ.

Vincentius Amin Sutanto merupakan mantan controller keuangan di Raja Garuda Mas, milik mantan orang terkaya di Indonesia, Sukanto Tanoto. Tuduhan melakukan penggelapan, membuat Vincent melarikan diri dan melaporkan kondisi tersebut kepada KPK. Karena kasus tersebut terkait dengan tindak pidana perpajakan, KPK segera bekerja sama dengan Direktorat Pajak untuk membongkar akrobat pajak di perusahaan milik Sukanto Tanoto tersebut. Keberanian membongkar penggelapan pajak di perusahaan yang bernilai triliunan rupiah juga membuatnya harus mendekam di penjara dengan tuduhan melakukan pencucian uang dan penggelapan.

"Memang, posisi whistleblower seperti itu. Berisiko," kata pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Rudi Satrio, belum lama ini dalam perbincangan dengan salah satu portal berita di Jakarta. Ibarat uang logam yang mempunyai dua sisi berbeda, posisi whistleblower memang dilematis. Sang peniup peluit bisa jadi pahlawan atau justru mengalami nasib sebaliknya. "Di satu sisi menjadi pahlawan, di sisi lain jadi pesakitan. Mungkin dia juga bisa menjadi bagian dari kasusnya juga," ujar dia.

Sampai di mana perseteruan Susno dengan sejumlah sejawatnya berujung? Yang terang, Jumat mendatang Mabes Polri secara resmi memanggil Susno untuk menghadiri sidang kode etik. Sidang akan digelar Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri.

Dalam pandangan Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo, Presiden Yudhoyono tidak perlu turun tangan menyelesaikan kasus perseteruan para petinggi Polri. Sementara itu, Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha mengatakan penetapan tersangka mantan Kabareskrim Komjen Pol. Susno Duadji tanpa arahan dari Presiden SBY. "Tidak [diarahkan], diserahkan pada proses hukum yang berlaku," kata Julian, dalam sebuah acara di Hotel Sahid, Jakarta, Rabu pekan ini.

Kapolri pun meminta kepada semua pihak untuk tidak mencampuri urusan internal kepolisian terkait dengan kode etik. Kapolri mengimbau semua pihak menjaga kehormatan dan kebanggaan institusi Polri.

Masalah kode etik memang menjadi urusan kepolisian. Namun, tentunya, terpenting adalah memastikan kebenaran tudingan Susno yang disebut-sebut sebagai sang peniup peluit.(ANS/dari berbagai sumber)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini