Sukses

Gus Dur, NU dan Politik

Abdurrahman Wahid merupakan tokoh pemersatu bangsa. Lewat NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia yang didirikan kakeknya, K.H. Hasjim Asy'ari, Gus Dur semakin mengukuhkan dirinya sebagai kiai dan tokoh nasional.

Liputan6.com, Jakarta: Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, telah wafat Rabu (30/12), pukul 18:45, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Menurut Ketua Tim Dokter, dr. Yusuf Misbach, Gus Dur meninggal setelah menderita berbagai penyakit. "Kondisi kesehatan beliau memburuk berkaitan dengan penyakit diabetes, ginjal, stroke, dan jantung," ujar Yusuf Misbach, di Gedung RSCM.

Kepergian mantan presiden ke-4 RI ini diiringi isak tangis keluarga, kerabat, dan jutaan masyarakat Indonesia. Termasuk warga nahdliyin, yang menempatkan Gus Dur sebagai tokoh kharismatik, dan disegani. Bahkan, sejumlah kalangan menyebut, darah Gus Dur adalah darah Nahdhatul Ulama (NU).

Sebutan ini tidak berlebihan memang. Abdurrahman Wahid adalah cucu Kyai Haji Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdhatul ulama,  organisasi Islam terbesar di tanah air. Sejak muda, Gus Dur aktif di organisasi yang basis utamanya di Jawa Timur.

Tahun 1984, suami Shinta Nuriyah ini terpilih sebagai Ketua Umum Pengusur Besar (Tanfidziyah) NU. Berbeda dengan para pimpinan NU sebelumnya, kehadiran Gus Dur seperti meniupkan darah segar di tubuh NU, yang juga dikenal sebagai basis para ulama tradisional.

Mengawali kepemimpinannya, pria kelahiran 1940 ini melakukan reformasi di tubuh NU, termasuk bidang pendidikan. Terhadap kekuasaan Orde Baru, Gus Dur pun memberi dukungan. Antara lain dengan menerima Pancasila sebagai ideologi negara.

Tahun 1989, Gus Dur kembali dipercaya sebagai Ketua Umum PBNU. Berbeda dengan pEriode pertama, pada periode ini Gus dur mulai bersikap mengambil jarak dengan pemerintah. Di antara sikap itu adalah menolak bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Organisasi bentukan BJ Habibie ini, didukung Presiden Soeharto. Inilah kemudian yang membuat Presiden Soeharto, waktu itu, tidak merestui terpilihnya kembali Gus Dur pada Muktamar NU berikutnya.

Karena itu pula, hubungan Gus Dur dan rezim Orde Baru mengalami pasang surut. Tapi situasi berbalik menjelang kejatuhan Presiden Soeharto, 1998. Gus Dur lah salah satu tokoh yang diundang ke Istana, untuk dimintai masukan tentang masa depan rezim.

Setelah Soeharto jatuh, reformasi kehidupan politik pun bergulir. Salah satunya ditandai dengan bermunculannya partai baru di luar PPP, Golkar dan PDI Perjuangan. Gus Dur menyadari betul akan kekuatan basis massa NU. Karena potensi tersebut, putra KH Wahid Hasyim ini akhirnya membentuk partai untuk menyalurkan suara NU, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai ini kemudian, dan seizin Gus Dur, menunjuk Matori Abdul Jalil sebagai ketua.

Dalam perjalanannya, partai ini kerap diwarnai konflik. Konflik muncul akibat gesekan Gus Dur dengan para pengurus partai sendiri. Tahun 2001 misalnya, Gus Dur, yang menjadi Ketua Dewan Syuro PKB, memecat Matori Abdul Jalil dari kursi ketua umum.  Alasannya, Matori yang waktu itu Wakil Ketua MPR, hadir dalam sidang khusus MPR, yang menjatuhkan Gus Dur dari posisi Presiden RI.

Kepemimpinan PKB pengganti Matori, yakni Alwi Shihab, juga tidak langgeng. Alwi, yang berduet dengan Saefullah Yusuf,  keponakan Gus Dur, akhirnya terpental dari PKB, dan membikin partai baru.  Terakhir, Gus Dur pun berkonflik dengan keponakannya yang lain, Muhaimin Iskandar. Kali ini perlawanan Muhaimin melalui jalur hukum membuat Gus Dur malah terpental dari partai yang semula didirikannya.

Hingga akhir hayatnya, perseteruan Gus Dur dengan PKB pimpinan Muhaimin Iskandar belum reda. Kendati demikian, tidak ada yang bisa memisahkan kebesaran nama PKB dan NU dari sosok Gus Dur, politisi dan kyai yang tindakan serta ucapannya kerap memunculkan pro-kontra. (ETA)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini