Sukses

Prita, RS Omni dan Sanksi Publik

Kasus Prita versus RS Omni Internasional, bagaikan pertarungan antara pelanggan dan pemberi jasa layanan publik. Siapapun yang memenangkan pertarungan, publik sudah lebih dulu memberi apresiasi maupun sanksi.

Liputan6.com, Jakarta: Keluhan pelanggan adalah lumrah. Sebab, mereka membayar setiap pelayanan yang diterima. Jika pelayanan kurang memuaskan, mereka pasti mengeluh. Ke mana biasanya pelanggan jasa pelayanan publik mengeluh, sehingga mendapat perhatian pemberi jasa pelayanan?

Ada banyak sarana untuk menyampaikan keluhan, jika menghadapi masalah dalam memanfaatkan jasa pelayanan publik. Bisa melalui surat pembaca di media cetak, agar publik tidak mengalami keluhan yang sama.  Ada pula yang disampaikan dari mulut ke mulut, lewat saudara, tetangga dan teman.  Di zaman serba elektronik, keluhan bisa dikabarkan melalui surat elektronik atau e-mail, juga melalui mailing list pada teman-teman satu komunitas. Di samping kabar cepat sampai, reaksi pun lebih cepat datang.

Satu di antara banyak keluhan yang disampaikan lewat e-mail dilakukan Prita Mulyasari. Pasien Rumah Sakit Omni Internasional di Tangerang, Banten ini, mengeluhkan buruknya pelayanan yang telah ia alami, kepada teman-temannya, melalui mailing list. Sebab, keluhan yang disampaikan kepada pihak rumah sakit dan dokter yang melayani, tidak memuaskan dirinya.

Tindakan Prita ini tentu tidak salah. Ia telah membayar mahal pelayanan yang mestinya diperoleh dari rumah sakit berstandar internasional. Namun, tanggapan pihak RS Omni luar biasa. Keluhan kecil yang disampaikan kepada teman, dinilai pihak manajemen telah mencemarkan nama baik rumah sakit itu, sehingga Prita diperkarakan.

Melalui laporan yang disampaikan, polisi dan jaksa dengan mudah menemukan pasal-pasal yang dilanggar Prita. Kedua lembaga penegak hukum ini menuduh Prita melanggar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP, dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sekaligus, terutama untuk pasal pencemaran nama baik dan fitnah. Karena melanggar dua UU, Prita pun bisa langsung masuk tahanan

Proses yang luar biasa cepat dilakukan aparat penegak hukum terhadap Prita, tentu menarik dicermati. Sebab, kasus ini diproses tidak secepat kasus-kasus korupsi yang telah merugikan negara miliaran hingga triliunan rupiah. Pada kasus korupsi, aparat penegak hukum sealalu "kesulitan" menahan pelaku karena tidak ada pasal yang bisa dikenakan kepada pelaku.

Aksi cepat para penegak hukum terhadap Prita, menarik perhatian publik. Mereka seolah tidak terima kasus Prita langsung dimejahijaukan. Kasus lumrah ini akhirnya meledak di media massa. Hampir semua media massa kala itu, menjadikan kasus Prita vs RS Omni sebagai headline. Reaksi pun deras berdatangan. Apalagi saat itu tengah berlangsung kampanye pemilu legislatif. Para politisi memanfaatkan kesempatan "menolong" Prita, demi merebut simpati. Ketua Umum DPP PDIP Megawati Sukarnoputri langsung menjambangi Prita yang ditahan di LP khusus wanita di Tangerang. Tim sukses Jusuf Kalla juga tak mau kalah, mengundang ibu dua anak ini bertemu sang calon presiden [baca: Tim Pemenangan JK Win Undang Prita].

Tindakan cepat jaksa dengan menjerat Prita ternyata menjadi cemoohan publik. Terlebih ada dugaan gratifikasi oleh RS Omni terhadap Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang. Sebab, RS Omni Internasional memberikan layanan medical check up dan papsmear cuma-cuma untuk para pegawai Kejari Tangerang. Pengumuman yang sempat ditempel di gedung Kejari Tangerang ini dikeluarkan 18 Mei 2009, sedangkan Prita ditahan lima hari sebelumnya. Bau tak sedap yang berkembang pun, tak bisa dipungkiri.

Kasus Prita vs RS Omni tetap mendapat perhatian publik, meski banyak isu lain yang menyelingi. Hingga awal Desember, Pengadilan Tinggi Banten menyatakan Prita bersalah dalam perkara perdata sehingga divonis membayar denda Rp 204 juta. Denda ini adalah pengganti kerugian moril dan materil yang dialami RS Omni.

Vonis ini memicu gelombang simpati kedua pada Prita. Mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris menyatakan akan membayar separuh dari denda yang dibebankan kepada Prita. Tak kalah mengharukan reaksi dari masyarakat. Mereka menghimpun dana dengan cara unik, yakni mengumpulkan uang logam (koin) receh, untuk membayar denda pada RS Omni [baca: Penggalangan Koin untuk Prita di Solo].

Dari pihak Prita sendiri, putusan PT Banten ditanggapi dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung [baca: Prita Secara Resmi Ajukan Kasasi]. Bahkan, Prita berniat menggugat balik RS Omni. Gugatan balik yang diajukan Prita meliputi ganti rugi materiil sebesar Rp 113 juta dan ganti rugi imateriil sebesar Rp 1 triliun.

Hingga kini, buntut kasus Prita vs RS Omni belum berujung. Pengacara RS Omni Internasional Risma Situmorang, kembali menawarkan jalan damai, yakni akan mencabut gugatan perdata, asal Prita  meminta maaf secara terbuka pada RS Omni. Namun tawaran jalan damai ini ditampik Prita. Sebab RS Omni dinilai terlalu berlebihan, yakni Prita meminta maaf, sementara karyawan sebuah bank swasta itu yakin tidak bersalah.

Bagi pihak RS Omni, permintaan maaf Prita setidaknya bisa memulihkan nama baik. Namun upaya pemulihan nama baik juga tidak mudah. Sebab, langkah yang diambil selama ini justru kontraproduktif, yakni membawa kasus ke ranah hukum, yang dinilai publik terlalu berlebihan. Sebab, yang dilakukan tidak lebih dari sekadar membela haknya.

Kini, vonis yang sudah dijatuhkan PT Banten, justru membuat jurang antara pelanggan dan RS Omni makin melebar. Yang terjadi bukan lagi perseteruan antara pelanggan dan manajemen RS Omni, tapi sudah mengarah pada prasangka status  sosial. Disadari atau tidak, sejak awal warga memposisikan RS Omni sebagai strata atas, yang mampu "membeli" dan mempermainkan hukum. Di sudut lain, Prita, yang berada pada strara sebaliknya, mendapatkan simpati dari publik karena dinilai sebagai korban arogansi dari kelas sosial ekonomi yang lebih tinggi.

Dukungan terhadap Prita adalah cerminan protes, sekaligus sanksi sosial dari masyarakat terhadap RS Omni. Prita harus dibela karena bagian dari "kita" dalam posisi tidak berdaya, dalam melawan "mereka" yang terlalu berkuasa.

Jika pun MA akan memenangkan kasasi RS Omni, publik sudah terlanjur memberi stigma. Sebab, yang mereka butuhkan bukan sekadar embel-embel pelayanan dengan standar internasional, tetapi juga peduli akan hak dan nasib orang kecil.  (ZAQ/ETA)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.