Sukses

Audisi Ala SBY

Pada periode 2009-2014, SBY-Boediono serius membentuk kemasan kabinet yang bisa mewakili beragam kebutuhan rakyat. Dengan cara ini SBY tampak enggan mengulang reshuffle kabinet di tengah jalan. Pengamat politik menilai, prosesi audisi ini seperti panggung teater politik.

Liputan6.com, Jakarta: Masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla selama periode 2004-2009 selesai. Tahun ini SBY membuka lembaran baru mengemban amanat rakyat selama lima tahun ke depan. Dia, untuk kali kedua, dipercaya lagi menakhodai "kapal" Indonesia.

Lembaran baru, pendamping baru. SBY bekerja sama dengan Boediono periode 2009-2014. Belajar dari pengalaman pertama yang kurang tersusun dengan baik, kali ini SBY menyeleksi secara ketat calon-calon menteri untuk membantunya dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II. Seleksi berlangsung selama tiga hari jelang pelantikan SBY-Boediono di Gedung DPR/MPR, Selasa (20/10) [baca: Hari Ini Proses Seleksi Selesai Dilaksanakan].

Langkah awal SBY menyusun nama-nama calon yang akan masuk kabinet barunya. Dari ratusan kandidat menteri, SBY menyaring lagi menjadi 45 nama. Beberapa nama di antaranya Muladi dan Erlangga Hartarto dari Partai Golongan Karya, Puan Maharani dan Pramono Anung dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tercantum. Termasuk pasangan Megawati Sukarnoputri dalam pemilihan presiden 8 Juli silam dari Partai Gerakan Indonesia Raya, Prabowo Subianto.

Mereka yang disebut barusan ternyata tak masuk seleksi. SBY mengerucutkan lagi ke-45 nama itu menjadi 34 sesuai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Belakangan sehari jelang pelantikan, SBY menambah dua kursi pejabat setingkat menteri. Masing-masing posisi Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal Purnawirawan Sutanto dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Gita Wirjawan.

Hari-hari demi hari berlalu. Ketegangan menyelimuti para calon menteri yang menjadi nominasi kabinet baru SBY. Tak ubahnya peserta Indonesian Idol. Bedanya para calon menteri mengemban amanat rakyat, khususnya selama 100 hari ke depan. Di sini ujian sebenarnya.

Mereka yang terpilih diundang ke kediaman SBY di Puri Cikeas Indah Bogor, Jawa Barat. Seleksi uji kelayakan dan kepatutan berlangsung dua sesi. Pada akhir wawancara mereka disodori pakta integritas dan kontrak politik yang harus ditandatangani. Isinya: target kerja selama lima tahun dan kode etik yang harus ditaati.

Setelah uji kelayakan, setiap kandidat menteri menjalani tes kesehatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto dan psikotes. Dari hasil ini, SBY mempunyai pegangan mengenai profil lebih mendalam para calon pembantunya. Mulai dari kesehatan fisik dan mental para calon menteri.

Presiden Yudhoyono tak main-main. Tindak lanjut dari ditandatanganinya pakta integritas dan kontrak politik, ia akan mengevaluasi bawahannya. Bila mengecewakan, maka sanksi akan dijatuhkan. Reshuffle tak terhindarkan. Bila terjadi, berarti Presiden ke-6 RI itu mengulang kesalahan lima tahun silam. Pada KIB jilid pertama, tercatat dua kali terjadi reshuffle.

Pergantian kala itu diakui SBY untuk meningkatkan efektivitas dan kinerja kabinet. Pria berusia 60 tahun ini juga tak ingin salah dalam menempatkan menteri-menterinya. Ia pun menetapkan kriteria di antaranya calon yang memiliki integritas, kapasitas, pengalaman, pengetahuan, dan akseptabilitas.

Lima tahun silam, yang mengalami pergantian di KIB Jilid I antara lain Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sugiharto yang digantikan Sofyan Djalil. Posisi yang ditinggalkan Sofyan di pos Menteri Komunikasi dan Informatika diisi Muhammad Nuh yang kini diprediksi menjabat Menteri Pendidikan Nasional.

Berikutnya Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra yang kemudian digeser Hatta Rajasa. Di mana Hatta sekarang menjadi calon kuat mengisi pos Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Lowongnya Menteri Perhubungan yang ditinggalkan Hatta diisi Jusman Syafii Djamal. Jusman berasal dari kalangan profesional mantan Direktur PT Dirgantara Indonesia periode 2000-2002.

Tak luput menteri di KIB Jilid I yakni Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin diganti Andi Mattalata, ahli hukum dan Ketua Fraksi Golongan Karya DPR RI. Sejumlah pihak waktu itu mendesak agar Hamid dan Yusril diganti. Keduanya tersandung kasus pencairan dana milik Tommy Soeharto di NP Paribas cabang London.

Terkena getahnya pula Jaksa Agung Abdulrahman Saleh yang diganti Hendarman Supandji. Hendarman adalah mantan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus dan mantan Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terakhir adalah Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Syaefullah Yusuf yang menyerahkan jabatan ke Mohammad Lukman Edi, kader dari Partai Kebangkitan Bangsa.

Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ini mencatatkan sejarah baru. Sebab di jajaran kabinet tersedia lima kursi untuk calon menteri perempuan. Sebut saja nama kandidat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana, calon Menteri Kesehatan Nila Juwita Anfasa Moeloek, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Keuangan Sri Mulyani, serta Linda Agum Gumelar untuk posisi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Urusan Anak.

Bila menengok pada zaman pemerintahan SBY-JK, hanya tersedia empat kursi untuk perempuan. Di era Megawati Sukarnoputri dan di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gusdur hanya terisi dua perempuan dalam kabinet.

Audisi ini, seperti diutarakan pengamat politik Eep Saefullah Fatah, sebagai panggung teater. Atau pengamat politik dari Universitas Paramadina Jakarta, Burhanuddin Muhtadi menyebutnya sebagai panggung politik. Bahkan timbul pertanyaan: apakah proses seleksi ini sekadar kepentingan publisitas semata? Entahlah.

Seleksi terlihat ketat, mengingat mantan Jenderal TNI Purnawirawan itu berniat mengakomodasi beragam kebutuhan rakyat. Di antaranya dengan mengakomodasi keterwakilan perempuan dan masuknya calon-calon yang mewakili berbagai etnis, suku, agama, dan wilayah [baca: Pengamat: Kepentingan Parpol di KIB II Dominan].

Berkaca dari pengalaman itu, sudah saatnya SBY membentuk pemerintahan yang mampu bekerja optimal. Sebuah kabinet yang bisa memberi produk-produk kebijakan nyata, tak sekadar wacana. Kabinet yang mampu mematahkan stigma miring sejumlah kalangan bahwa ini bukan politik balas jasa. Mereka bisa bilang jumlah kursi yang ada dari titipan parpol, tapi presiden terpilih punya waktu hingga lima tahun ke depan untuk membuktikan kalau itu salah. Semoga.(EPN)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini