Sukses

Carilah Ilmu Sampai ke Negeri Gempa

Gempa bumi sebenarnya bukanlah suatu peristiwa yang asing di Tanah Air. Meski akrab dengan gempa, namun tetap saja pemerintah dan masyarakat luas masih belum tanggap dan sigap mengatasi dampaknya. Sebenarnya bukan hanya negeri kita yang sering digoyang gempa bumi, Jepang juga sangat akrab dengan gempa. Bedanya, pemerintah dan warga Jepang cepat belajar dari berbagai pengalaman menghadapi peristiwa alam itu. Alhasil, jumlah korban kerusakan material dan jiwa manusia dapat lebih diminimalisir lagi.

Disadari atau tidak, kita hidup di bumi dari Sabang sampai Merauke, akrab dengan bencana alam gempa bumi. Karena bukan hanya sekali dua kali goyangan bumi itu mengguncang Tanah Air. Peristiwa yang baru saja terjadi, gempa bumi kuat, Rabu (2/9) sekitar pukul 14.55 WIB, menggoyang wilayah Pulau Jawa bagian selatan. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), lokasi pusat gempa berada pada 8,24 Lintang Selatan 107,32 Bujur Timur, sekitar 142 kilometer Barat Daya Tasikmalaya, Jawa Barat, dengan kedalaman 30 kilometer di bawah permukaan laut.

Gempa berkekuatan 7,3 pada skala Richter itu, tak hanya mengguncang Tasikmalaya, namun juga dirasakan di Jakarta, Bandung, Sukabumi, Cianjur, Garut, Purwakarta, Cilacap, Tegal, bahkan hingga Bali. Di Jakarta, gempa itu membuat para penghuni gedung bertingkat panik. Di beberapa kawasan bisnis seperti di Sudirman, Senayan City, dan Mega Kuningan, para penghuni gedung berhamburan keluar. Bahkan, sebagian dari mereka, tak mau lagi kembali masuk ke gedung karena mengalami trauma.

Rasanya belum selesai menarik nafas panjang, gempa bumi terjadi lagi, Senin (8/9) pukul 23.12 WIB. Pusat gempa berada di 263 km arah tenggara Wonosari atau 283 km sebelah tenggara Yogyakarta. Belum diketahui persis, akibat yang ditimbulkan dari gempa berkekuatan 6,8 pada skala Richter itu.

Berulang kali gempa bumi mengakibatkan kerusakan fisik rumah tinggal dan bangunan serta menelan korban jiwa manusia yang tak sedikit. Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Senin (7/9), sampai hari keenam pascagempa Tasikmalaya, korban meninggal mencapai 73 orang. Korban meninggal terbanyak di Kabupaten Cianjur dengan jumlah 29 orang. Sedikitnya 34 orang masih belum ditemukan. Diduga warga yang hilang itu tertimbun longsoran atau berada di bawah reruntuhan bangunan yang ambruk.

Setelah mengalami gempa dan tsunami yang mahadahsyat di Aceh pada 2004 dan gempa Yogyakarta 2006, masyarakat tampak lebih waspada. Setidaknya, mulai ada sistem peringatan dini mengantisipasi tsunami. Warga yang tinggal di dekat pantai menyelamatkan diri ke daerah lebih tinggi begitu terjadi gempa. Untunglah, gempa yang dipicu oleh gesekan lempengan Indo-Australia kali ini tidak menimbulkan gelombang air bah.

Meski masyarakat kita akrab dengan gempa, bukan berarti kita telah siap hidup dalam ancaman bencana. Seperti yang terjadi dalam berbagai peristiwa gempa sebelumnya, tetap saja pemerintah daerah lamban membantu para korban bencana. Mereka harus membentuk tim dulu, melakukan rapat-rapat, sebelum bergerak menolong korban. Bukan hanya itu, di sisi lain reaksi masyarakat dalam menghadapi gempa tidak selalu tepat. Mereka, misalnya, tidak mematikan kompor atau listrik sebelum melarikan diri ke luar rumah. Sebagian masyarakat, juga terlalu panik sehingga terluka atau bahkan meninggal bukan oleh sebab guncangan itu sendiri melainkan karena terjatuh. Tentu tulisan ini tidak bermaksud untuk menyalahkan masyarakat, namun justru ingin mengingatkan dan menyadarkan kembali apa yang sebaiknya dilakukan ketika menghadapi gempa yang selalu terjadi berulang. Tujuannya, untuk meminimalisir kerusakan fisik dan menjaga keselamatan jiwa masyarakat.

Kerusakan akibat gempa yang terjadi di kawasan Jawa Barat, Rabu (2/9) lalu, sedikitnya mengakibatkan kerusakan fisik berbagai fasilitas umum dan rumah tinggal senilai satu triliun rupiah. Jumlah ini baru diperkirakan untuk satu kota. Seperti yang diungkapkan Kepala Dinas Tenaga Kerja Sosial dan Transmigrasi Kabupaten Garut Elka Nurhakimah. Dinas Tenaga Kerja Sosial dan Transmigrasi Garut memperkirakan kerugian pemerintah daerah Garut mencapai nilai Rp 1 triliun.  Tentu saja, hitung-hitungan ini belum mencakup wilayah lain seperti Tasikmalaya, Cianjur, dan kota-kota lain yang juga mengalami kerusakan parah. 

Pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat menyediakan dana Rp 90 miliar untuk penanganan bencana. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun secara pribadi memberikan dana pribadinya senilai Rp 5 miliar rupiah untuk penanganan bencana di Jawa Barat itu. Rincian pembagiannya antara lain, Kabupaten Tasikmalaya mendapat sumbangan Rp 1 miliar, Kabupaten Bandung Rp 800 juta, Garut Rp 750 juta, Kabupaten Ciamis Rp 700 juta, Sukabumi Rp 600 juta, Kabupaten Bandung Barat Rp 250 juta, Kota Tasikmalaya Rp 225 juta, Cianjur Rp 250 juta, Kabupaten Bogor Rp 250 juta, Kuningan Rp 100 juta, Kabupaten Banjar Rp 90 juta, Majalengka Rp 75 juta, Subang Rp 50 juta, dan Kabupaten Purwakarta Rp 50 juta. Bantuan dari Presiden SBY itu dianggap sebagai bagian dari dana tanggap darurat. Masa tanggap darurat adalah 14 hari, dari hari pertama bencana sampai 17 September mendatang.

Seberapa kuat pemerintah dapat membantu dan menutup seluruh kerugian akibat bencana? Bagaimana jika terjadi bencana serupa yang besar lagi? Bukankah jumlah dana pemerintah untuk penanganan bencana sangat terbatas? Pertanyaan lainnya, bagaimana upaya pemerintah mempersiapkan masyarakat untuk menghadapi bencana yang bisa sewaktu-waktu terjadi? Bagaimana seharusnya masyarakat bersikap saat menghadapi bencana gempa? Bagaimana penanganan para korban yang mengalami trauma berat akibat gempa? Banyak pekerjaan rumah yang harus dipelajari berkaitan dengan bencana alam terutama gempa. 

Fakta bahwa negeri bernama Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng dunia, yakni Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Inilah yang menyebabkan gempa tektonik terjadi hampir setiap hari, dan kita harus berkompromi dengan kondisi ini. Alam semesta tak bisa diatur, tapi manusialah yang bisa mensiasati kondisi itu dengan lebih cerdas, cerdik, dan bijak. Rasanya kok tidak bijak jika setiap kali bencana datang, sebagian masyarakat dan bahkan tokoh masyarakat terus-menerus memposisikan peristiwa itu sebagai cobaan dari Sang Pencipta. Apalagi sebagai hukuman dari Yang Ilahi. 

Bukan hanya negeri Indonesia yang menjadi langganan gempa. Negeri Matahari Terbit Jepang juga merupakan negara 'pelanggan tetap' gempa bumi. Pada 17 Januari 1995, sebuah gempa bumi hebat mengguncang kota pelabuhan Kobe di selatan Jepang. Menurut kantor berita BBC, gempa berkekuatan 7,2 magnitude itu merupakan yang terbesar di Jepang dalam 47 tahun terakhir. Total korban tewas akibat gempa tercatat 6.433 orang, 27.000 orang lainnya terluka.

Hanya dalam waktu 20 detik, kota berpenduduk 1,5 juta jiwa itu luluh lantak. Ribuan gedung, apartemen, rumah, dan jalan layang di kota Kobe hancur. Sejumlah kereta api keluar dari jalurnya dan aliran listrik kota terputus di sejumlah tempat. Total kerusakan rumah tinggal 250.000 bangunan dengan perincian 104.906 hancur total, 144.274 hancur sebagian, 390.506 bangunan rusak, sekitar 460.000 keluarga kehilangan tempat tinggal atau tempat tinggal mengalami kerusakan. Bukan hanya itu, badai api pun kemudian menyergap kota. Korban akibat kebakaran 7,483 bangunan terbakar habis, di antaranya 6.148 bangunan tempat tinggal (rumah dan apartemen), 9.017 keluarga kehilangan tempat tinggal. Kerugian lainnya, jalan dan jalan raya mengalami kerusakan di 10.069 tempat, 320 bangunan jembatan mengalami kerusakan, kerusakan pinggiran sungai di 430 tempat, tanah longsor di 378 tempat. Total kerugian diperkirakan mencapai 10 triliun yen, sebesar 2.5% dari GDP Jepang pada saat itu. Atau sekitar 100 miliar dolar AS. Korban yang mengungsi lebih dari 300.000 orang. Setelah peristiwa pilu itu, sebagian penduduk Kobe berpindah ke kota lain. Getaran gempa Kobe juga dirasakan hingga ke kota Osaka dan Kyoto. Dahsyat, luar biasa!

Pascabencana itu, reaksi cepat tanggapnya masyarakat Jepang sangat luar biasa. Jumlah relawan yang membantu korban gempa bumi waktu itu, rata-rata sekitar 20.000 orang per hari. Dalam 3 bulan pertama, total relawan yang datang membantu sekitar 1.170.000 orang. Pemerintah Jepang kemudian menetapkan tanggal 17 Januari sebagai Hari Relawan dan Penanggulangan Gempa Bumi.

Peristiwa Kobe membawa kesadaran baru. Sadar gempa seolah menjadi kebutuhan masyarakat Jepang. Masyarakat cepat bangkit belajar berbagai hal tentang gempa dan penyelamatan diri saat terjadi bencana bumi berguncang itu. Anak-anak sekolah pun diperkenalkan dengan berbagai pengetahuan tentang gempa sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Mereka mendalami gempa bukan hanya sekadar sebagai materi pengetahuan hafalan, tapi secara praktis mereka mempelajari bagaimana gempa itu bisa terjadi, mengapa terjadi, dan bagaimana seharusnya sikap mereka ketika gempa itu berlangsung. Menarik. Kini pemerintah dan masyarakat Jepang amat siap mental menghadapi gempa. Semua itu terjadi melalui proses pembelajaran, kesadaran, dan kerja keras dari pemerintah dan rakyatnya.

Saatnya Indonesia juga mengakrabi gempa secara sadar dan benar. Karena gempa merupakan bagian dari hidup kita, yang setiap saat bisa terjadi. Pembelajaran, kesadaran, dan berbagai pengetahuan tentang gempa harus pula dipahami oleh seluruh masyarakat. Bukan hanya mereka yang tinggal di perkotaan saja, tapi untuk seluruh lapisan masyarakat. Sehingga ketika gempa mengguncang Tanah Air, tindakan penyelamatan yang efektif dapat dijalankan. Makin mengenal sifat dan kharakter gempa, minimal kerugian dan korban jiwa dapat diperkecil. Barangkali, itulah pentingnya membudayakan sikap siap menghadapi gempa. Ada baiknya juga belajar dari negeri gempa.(*dari berbagai sumber)




* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini