Sukses

"Perbankan Lebih Berbahaya Dibanding Infanteri"

Penulis deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang juga Presiden Amerika ketiga Thomas Jefferson mungkin sedang bergurau ketika mengatakan perbankan lebih berbahaya daripada sepasukan infanteri. Tapi, kata-kata yang diucapkan ratusan tahun silam itu benar belaka dan selalu terbukti kebenarannya dari masa ke masa.

Penulis deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang juga Presiden Amerika ketiga Thomas Jefferson mungkin sedang bergurau ketika mengatakan perbankan lebih berbahaya daripada sepasukan infanteri. Tapi, kata-kata yang diucapkan ratusan tahun silam itu benar belaka dan selalu terbukti kebenarannya dari masa ke masa. Nyaris semua krisis ekonomi yang terjadi di masa modern ini dipicu oleh industri perbankan dan industri keuangan secara umum. Terakhir kita menyaksikan saat ekonomi Amerika, negara dengan volume ekonomi terbesar di dunia, limbung gara-gara perbankan. Krisis itu lalu menyebar bagai virus ke seantero bumi yang membuat pailit banyak perusahaan di negara-negara industri.

Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Di sini, perbankan juga telah menyulut krisis lebih dari sepuluh tahun lalu yang sisa-sisanya masih terasa hingga hari ini. Sektor ini dari dulu hingga sekarang tidak memiliki struktur yang mapan dan adil. Struktur perbankan nasional hanya dikuasai kurang dari sepuluh perusahaan membuat industri ini bersifat oligopolis, jika tak mau menyebutnya kartel. Tidak heran, perbankan mengontrol dan mendiktekan kehendaknya ke pasar, seperti layaknya kartel. Ini dia contohnya yang paling kasat mata: suku bunga kredit tak turun-turun meski Bank Indonesia telah memberi sinyal penurunan yang amat kuat lewat pemangkasan BI rate.

Sudah setengah tahun ini Bank Indonesia berusaha mempengaruhi pasar agar bunga kredit turun tapi hasilnya nihil. Nol besar. Bahkan, ini di luar kebiasaan, Gubernur Bank Indonesia saat itu Boediono mengimbau bank-bank segera menurunkan bunga pinjamannya. Pun ini tak mempan.

Terakhir bank sentral mengirim lagi sinyal lagi ke pasar kredit, awal Agustus lalu, dengan menurunkan BI rate untuk kesekian kalinya menjadi tinggal 6.50 persen. Tapi perbankan bergeming dengan tidak memberi respons memadai, bahkan bisa dibilang tidak ada sama sekali. Bunga kredit masih bertengger pada angka 13-15 persen per tahun. Meminjam istilah pengamat perbankan Dradjad Wibowo, BI rate kini tidak berwibawa lagi dan tidak bisa digunakan sebagai acuan.

Jika sinyal yang dikirimkan BI ke pasar tidak berfungsi, lalu bagaimana menyebut pasar kredit saat ini? Jawabannya ada pada keinginan bank-bank besar untuk membuat kesepakatan bersama guna menurunkan bunga kredit. "Kami akan bersepakat untuk menurunkan bunga kredit," kira-kira begitulah rencana para bankir dari bank-bank papan atas yang menguasai sebagian besar pasar perbankan.

Bunga pinjaman turun karena diatur oleh kesepakatan, bukan oleh mekanisme pasaar. Artinya pasar kredit bisa disebut sebagai pasar komando, sekali lagi kalau mau menghidari kata kartel. Pasar tidak bebas dan tidak bersaing secara sempurna. Tahukah Anda bahwa pasar komando itu terbentuk karena pemainnya hanya ini:  Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, dan gabungan sejumlah bank menengah antara lain Bank Danamon. Bank-bank lain akan mengekor jika bank-bank besar ini melakukan permufakatan. Bank-bank besar itulah yang mendikte pasar. 

Dalam situasi seperti ini, percuma Bank Indonesia menurunkan bunga acuannya. Bunga kredit hanya akan turun jika bankir-bankir yang jumlahnya segelintir orang itu melakukan permufakatan. Bank Indonesia seharusnya mengetahui hal ini, tapi kenapa selama ini bank sentral seolah-olah tidak tahu? Kenapa Bank Indonesia membiarkan publik percaya bahwa mereka-lah yang bisa mempengaruhi pasar lewat sejumlah instrumen yang memang dibuat untuk memberi sinyal ke pasar, padahal faktanya tidaklah demikian.

Apabila struktur perbankan tidak berubah di mana hanya segelintir bank papan atas yang menguasai pasar, jangan berharap banyak bunga kredit akan mencerminkan permintaan dan penawaran seperti layaknya pasar yang sesungguhnya. Karena itu sudah saatnya pemerintah mengambil inisiatif untuk memperbaiki struktur perbankan.  Jika tidak, konsumen akan dirugikan. Coba perhatikan baik-baik betapa cepatnya perbankan menaikkan bunga kredit, katakanlan kredit kepemilikan rumah, jika kondisi ekonomi kurang menguntungkan, tapi tidak segera menurunkannya dalam tempo yang sama cepatnya ketika kondisi sudah membaik. Itulah sebab Anda selalu membayar lebih mahal kredit daripada menerima untung dari bunga deposito.

Bukan hanya itu. Mempertaruhkan kinerja ekonomi--ingat, perbankan adalah pelumasnya perekonomian--pada sektor perbankan yang terang-terangan bermasalah tentu amat berisiko.


* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini