Sukses

Akhir Sepak Terjang "Singa Tua dari Libia"

Berbagai media massa internasional melaporkan Khadafi tewas tertembak saat pasukan pemberontak menyerang lokasi persembunyiannya di Sirte, Kamis (20/10).

Liputan6.com, Tripoli: Penguasa Libia terguling, Kolonel Muammar Khadafi, akhirnya tewas di kota kelahirannya. Berbagai media massa internasional, Kamis (20/10), melaporkan Khadafi tewas tertembak saat pasukan pemberontak menyerang lokasi persembunyiannya di Sirte [baca: Khadafi Dikabarkan Tewas, Warga Tripoli Berpesta].

Muammar Muhammad Abu Minyar al Gaddafi atau populer dengan nama Muammar Khadafi merupakan tokoh kontroversial dunia sejak berkuasa pada 1 September 1969. Sejak itulah, lelaki kelahiran Sirte, Libia, 7 Juni 1942 itu menjadi tokoh yang kontroversial di Timur Tengah, Afrika, mapun di dunia Barat.

Begitu merebut kekuasaan dari Raja Idris lewat kudeta tak berdarah, dia langsung menegaskan menolak kapitalisme dan komunisme. Aliran politiknya, begitulah dia selalu mengaku, adalah "jalan ketiga" yang menurutnya adalah kombinasi antara Islam dan sosialisme. Namun dia mengaku bahwa ideologi itu masih memerlukan waktu untuk bisa berkembang.

Sementara di dunia Barat, selama beberapa waktu dia sempat dituduh oleh banyak pemerintahan sebagai pendukung terorisme. Bagaimanapun pada 2003, Khadafi yang dijuluki "Singa Tua dari Libia" sepertinya mengubah haluan dengan melucuti senjata perusak massal dan langkah itu dipuji oleh pemimpin-pemimpin Barat.

Libia memiliki cadangan minyak yang besar dan Muammar Khadafi menggunakan pendapatan minyak untuk melakukan perubahan di dalam negeri dan sekaligus mendukung gerakan revolusioner internasional.

Di bawah kekuasaan Khadafi, Libia menjadi tempat latihan bagi kelompok-kelompok pemberontak di kawasan Afrika Barat, termasuk antara lain panglima perang Liberia yang kemudian menjadi presiden, Charles Taylor. Pun demikian sayap militer perjuangan Irlandia (IRA) dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), mendapat bantuan senjata maupun keuangan dari pemerintah Tripoli.

Dan, dia tidak mempedulikan kritik dari negara-negara Barat maupun Israel atas kebijakannya itu.

"Palestina adalah tanah kami. Itu bukan tanah warga Palestina saja atau Mesir. Itu adalah tanah semua warga Arab. Kami berharap bisa merebut kembali tanah itu dengan cara apapun. Dan jika peperangan diperlukan, itu ok," tegasnya dalam sebuah pernyataan, beberapa waktu silam.

Hubungan antara Kolonel Khadafi dan Barat mencapai titik nadir pada dekade 1980-an. Saat itu Inggris dipimpin oleh Perdana Menteri Margaret Thatcher, sementara Amerika Serikat di bawah Presiden Ronald Reagan, yang menyebut Khadafi sebagai "Anjing Gila".

Pada masa itu pulalah, persisnya 1984, seorang polisi perempuan Inggris, Yvonne Fletcher, ditembak mati di luar Kedutaan Libia di London ketika sedang bertugas mengawasi unjuk rasa anti-Khadafi.

Dua tahun kemudian AS menuduh Libia terlibat dalam pengeboman sebuah klub malam di Berlin Barat, (saat itu di bawah naungan negara Jerman Barat) yang sering dikunjungi oleh tentara Negeri Adidaya tersebut.

Serangan itu ditanggapi AS dengan melakukan serangan udara atas ibu kota Tripoli, yang antara lain menewaskan seorang putri angkat Khadafi yang berusia 15 bulan.

Selanjutnya pada 1988, pesawat Pan Am meledak di atas Lockerbie, Skotlandia, dan menewaskan 270 orang. Setahun kemudian pesawat Perancis yang meledak di atas Afrika Barat.

Pemerintah-pemerintah Barat langsung menuding Khadafi di balik kedua serangan itu dan menerapkan sanksi atas Libia.

Bagaimanapun Khadafi tampaknya tidak tergugah dengan sanksi internasional terhadap Libia maupun kecaman-kecaman atas dirinya. Pada 1975, dia menulis tiga jilid Buku Hijau yang memaparkan konsep Jamahiriya, yang secara umum bisa diterjemahkan sebagai "kondisi massa".

Kehadirannya dalam pertemuan-pertemuan di Timur Tengah, antara lain Liga Arab, selalu menarik pehatian media dunia. Dia juga sempat berkunjung ke kawasan hutan Amazon dengan didampingi sekelompok pengawal perempuan. Jika berkunjung ke luar negeri, Khadafi selalu diikuti oleh rombongan yang besar dan memilih untuk tinggal di tenda besar ala Timur Tengah.

Dan banyak yang terkejut ketika pada akhir dekade 1990-an, dia menempuh kebijakan yang bersahabat dengan dunia internasional. Betapa tidak, selain menyerahkan pelaku pembom Lockerbie untuk diadili di Inggris, Khadafi juga melucuti senjata pemusnah massal serta memutuskan hubungan dengan kelompok-kelompok militan dunia.

Langkah inilah yang sempat dianggap menandai normalisasi hubungan Libia dan AS. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pun mencabut sanksi terhadap Libia.

Namun pergolakan politik yang mengguncang sejumlah negara jazirah Arab pada tahun ini, seperti Tunisia dan Mesir, turut melanda Libia.

Hingga akhirnya Muammar Khadafi yang telah berkuasa selama 42 tahun menjadi buruan nomor satu pasukan pemberontak Libia atau Dewan Transisi Nasional (NTC) yang didukung tentara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Terutama, setelah Tripoli jatuh ke tangan pasukan pemberontak pada 23 Agustus silam.

Khadafi yang juga menghadapi tuntutan kejahatan terhadap kemanusiaan itu berjanji akan berjuang hingga titik darah penghabisan. Sampai akhirnya ajal menjemput "Singa Tua dari Libia" itu di kampung kelahirannya, Sirte.(ANS/BBC Indonesia dan berbagai sumber)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini