Sukses

Masih Adakah "Kartini"?

Seremonial lomba berbusana kebaya dan sejenisnya sudah tak cukup lagi menyuarakan kesetaraan perempuan sebagai pendamping laki-laki di dunia. Anda yang bisa menjawabnya kemudian: Masih Adakah "Kartini"?

Liputan6.com, Jakarta: Setiap 21 April manusia Indonesia memeringati Hari Kartini. Dari murid sekolah dasar, organisasi kewanitaan—khususnya—hingga karyawan di kantor sejumlah perusahaan. Sederet kebaya batik pun seakan menjadi potret kekinian sosok Kartini. Namun, apakah tanggal yang dimaknai sebagai titik awal momentum emansipasi wanita ini cukup layak diapresiasi sebagai sekadar seremonial rutin tahunan? Semoga tidak.

Kalau boleh jujur, jarang di antara mereka yang paham betul makna di balik peringatan hari tersebut. Tapi saking semangatnya, tak sedikit juga yang sengaja memberi nama Kartini saat si buah hati lahir di "tanggal sakral" itu. Nama adalah doa, mereka ingin anaknya kelak seharum nama sosok Raden Adjeng Kartini alias Raden Ayu Kartini.

Sebenarnya, siapa sih Kartini itu? Apa hebatnya dia, sehingga begitu dielu-elukan banyak orang?

Boleh jadi, Kartini adalah anak perempuan yang “amat aneh” di zamannya. Semasa sekolah di Europese Lagere School (ELS), semangat melawan ketidakadilan sudah menjadi perangai mendarah daging perempuan kelahiran Desa Mayong, Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 itu. Dia paling membenci diskriminasi guru kepada anak murid.

Sebagai contoh, teman-temannya dibariskan di depan calon kelas. Selepas itu, semua dipanggil satu per satu menurut kulitnya. Mulai dari yang putih, setengah putih, dan terakhir cokelat. Selain itu ada kriteria dasar urutan panggilan lain: kedudukan orangtua murid di kepegawaian dan strata sosial.

Jiwa pemberontak Kartini semakin sempurna di genap umur 12,5 tahun. Terhitung sejak saat itu, dia mesti berpisah dengan dunia luar dan terkurung tembok tebal. Kartini dipingit.

Di masa “pengasingan” selama empat setengah tahun, kesempurnaan asa melawan ketidakadilan makin menjadi. Semangat itu dipupuk seraya menghabiskan waktu dengan membaca apapun yang diberikan kakak dan ayahnya. Dalam masa itu, lembar demi lembar halaman dari tumpukan buku di sekitarnya menjadi sasaran yang paling masuk akal buat dijadikan “senjata antidiskriminasi".

Pada 1896, ketika Kartini berusia 17 tahun, inisiasi hidup dalam bentuk pingitan berakhir. Namun, "penjara" belumlah berakhir. Tepat tujuh tahun kemudian dia dinikahkan dengan Bupati Rembang Adipati Joyodiningrat. Dan lagi-lagi, Kartini tak mampu melawan titah itu.

Untungnya, sang suami cukup open mind. Dia merestui bahkan mendukung obsesi Kartini dalam berperang melawan ketidakadilan, khususnya untuk kaum hawa di Tanah Jawa. Kartini mendirikan Sekolah Kepandaian Putri, yang mengajarkan berbagai kegiatan wanita dalam keterampilan, seperti menjahit.

Dendam Kartini saat menghadapi diskriminasi di masa sekolah terbalaskan. Di sekolahnya ini, semua boleh mendapatkan pendidikan, tanpa embel-embel pendukung hak apapun. Jadi, mulai dari kalangan bangsawan hingga pribumi sekalipun, bebas menimba ilmu bersama. Sekolah ini terletak di sebelah timur pintu gerbang kompleks Kantor Kabupaten Rembang, saat itu.

Pada 13 September 1904 Kartini menjadi ibu. Sang buah hati laki-laki diberi nama Raden Mas Soesalit. Sayang, semenjak proses kelahiran kondisi fisik Kartini anjlok dan terus memburuk. Kartini hanya mampu bertahan empat hari setelah melahirkan, dan wafat di usia 25 tahun. Dia dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Perjalanan singkat hidup dan "keanehan" Kartini tumbuh subur menjadi inspirasi kesetaraan hak kaum perempuan di Bumi Nusantara, hingga saat ini. Setiap wanita punya orientasi hak yang sama dalam berbagai strata kehidupan sosial: pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hak menentukan pilihan pasangan hidup, dan masih banyak lagi.

Menilik seremonial tahunan yang supersederhana, seakan memang marak aplikasi jargon kesetaraan tadi. Tapi, begitukah kenyataannya? Tak adakah lagi kesenjangan hak?

Mari membedah sebagian di antaranya.

Belakangan sederet ajang kompetisi seleksi perempuan cantik dan berbakat muncul. Secuil filosofinya adalah menunjukkan bahwa perempuan Indonesia sekarang ingin maju dan berkembang seperti pria. Namun, terbuktikah bahwa semua perempuan Indonesia bebas dari buta huruf?

Beragam program sehat wanita diproklamirkan. Tapi, angka kematian ibu saat melahirkan—seperti yang dialami Kartini—belum signifikan bergeser ke arah yang lebih baik. Sementara di saat yang sama "hantu kanker serviks" masih juga bergentayangan.

Menuangkan buah pikiran inspirasi buat kaum hawa lewat segores larikan pena telah lama dilakukan para perempuan. Ada yang terus konsisten melakukannya tahun demi dekade dengan menerbitkan media massa spesial wanita. Efektifkah membuka semangat kemerdekaan perempuan? Apakah harus membuka lembaran metoda baru buat meyakinkannya?

Sejarah witing tresno jalaran soko kulino—cinta yang tumbuh seiring perjalanan waktu hanya karena kebersamaan yang disengajakan, seperti yang dialami Kartini-Adipati Joyodiningrat—masih saja terjadi. Masih ada belenggu ruang cinta, seperti lirik tembang Cukup Siti Nurbaya-nya Dewa 19, toh masih ada dengan pembenaran apapun untuk mengesahkannya. Sementara seiring waktu pula, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tumbuh subur bak jamur di musim hujan.

Sekumpulan tulisan pendek dalam paket khusus bedah sosok Kartini dan semangatnya dalam kekinian zaman siap tersaji. Intinya sederhana, seremonial lomba berbusana kebaya dan sejenisnya sudah tak cukup lagi menyuarakan kesetaraan perempuan sebagai pendamping laki-laki di dunia. Perjuangan mesti nyata untuk kemajuan kaum hawa Indonesia. Anda yang bisa menjawabnya kemudian: Masih Adakah "Kartini"?(EPN)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.