Sukses

2004-2009: Warga Miskin Dilarang Sakit dan Sekolah

Kini, saat anggaran pendidikan mencapai 20 persen dari APBN, rakyat miskin justru tak bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Rendahnya akses masyarakat miskin mendapat kesehatan memadai adalah akibat anggaran terbatas.

Liputan6.com, Jakarta: Selasa, 20 Oktober, siang, di depan Gedung DPR-MPR.  Saat sinar matahari memancarkan teriknya, seribuan mahasiswa bersama para aktivis melakukan aksi demo. Pada saat yang sama, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (SBY-Boediono) tengah dilantik sebagai presiden dan wakil presiden periode 2009-2014 di dalam gedung Wakil Rakyat yang nyaman, karena memiliki alat pendingin alias AC. Meski pasangan ini telah memenangkan pemilihan presiden-wakil presiden pada pemilu Juli lalu, para pendemo mengajukan sejumlah tuntutan, di antaranya agar pasangan ini menghentikan agenda Neo-liberalisme dan memperhatikan kesejahteraan rakyat.
 
Bagi SBY, ini  merupakan jabatan presiden periode kedua. Pada periode 2004-2009, SBY berpasangan dengan Jusuf  Kalla (JK). Sebelum menjalankan tugas bersama Boediono untuk periode lima tahun kedua, patut dicermati kinerja SBY bersama pasangannya JK, sepanjang periode 2004-2009.
 
Kinerja yang dipantau ini dibagi ke dalam tiga aspek, yakni politik dan hukum, ekonomi dan bisnis, serta kesejahteraan rakyat. Ketiga aspek tentu saling terkait dan mempengaruhi, sehingga sorotan kinerja ini menjadi satu kesatuan.

Kesejahteraan Rakyat
Bidang Kemiskinan
Menyoroti kinerja pemerintahan SBY-JK periode 2004-2009 di bidang kesejahteraan rakyat, tidaklah terlalu sulit, dikaitkan dengan kondisi di masyarakat. Masih ingat dengan tragedi Pasuruan, menjelang Lebaran 2008 lalu. Sebuah pemandangan memilukan, kala itu terjadi: Ribuan warga berebut pembagian zakat sebesar Rp 20.000 per orang. Jumlah yang tentu tidak terlalu besar. Yang menjadi peristiwa besar saat itu adalah akibat warga berebut mendapatkan zakat tersebut. Sebanyak 21 orang meninggal dunia akibat terinjak-injak, setelah terjadi saling dorong sebelumnya.

Kondisi seperti itu tentu sebuah ironi, dikaitkan dengan janji SBY-JK, baik saat berkampanye menjelang pemilihan presiden hingga saat menjalankan tugas, Oktober 2004. Pasangan ini tidak hanya menargetkan penurunan angka kemiskinan, dari 16,6 persen hingga 8,2 persen, tapi juga membuat orang tidak miskin. Namun fakta yang tercatat di BPS tak memberi perubahan berarti. Seperti tergambar dari data BPS 2008:

                        Jumlah             Persentase         Catatan
2004              36.1 juta                     16.60%
2005              35.1 juta                     16.00%     Februari 2005
2006              39.3 juta                     17.80%     Maret 2006
2007              37.2 juta                     16.60%     Maret 2007
2008              35.0 juta                     15.40%     Maret 2008
2009            ~32 juta                         ~14% *)     Janji 8.2%
Sumber data:
BPS 2008
*) Data sementara
Harapan rakyat  terhadap pemerintahan baru sebetulnya tak muluk-muluk: mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika kemudian tak terpenuhi, nyawa pun rela mereka pertaruhkan, seperti tragedi di Pasuruan.
 
Bidang Pengangguran
Selain gagal menurunkan angka kemiskinan, pemerintahan SBY-JK juga gagal menurunkan angka pengangguran secara lebih berarti, seperti yang pernah dijanjikan.  BPS memaparkan jumlah angkatan kerja yang tercatat pada Februari 2009 berjumlah 113,74 juta orang. Jumlah itu bertambah 2,26 juta dibandingkan Februari 2008, yang hanya 111,48 juta. Jika data Februari 2009 dibandingkan dengan data Agustus 2008 sebesar 111,95 juta orang, maka jumlah angkatan kerja bertambah 1,79 juta.
 
"Untuk angka pengangguran terbuka BPS mencatat sebanyak 8,14 persen pada Februari 2009, atau turun dibandingkan pada Februari 2008 yang tercatat 8,46 persen," tutur Kepala BPS Rusman Heriawan, di Jakarta, beberapa waktu lalu. Menurut Rusman, pertambahan jumlah angkatan kerja di Indonesia disebabkan pertumbuhan ekonomi berjalan lambat dan ini akan menjadi beban ekonomi negara. Belum lagi akibat dampak krisis global.

Tingkat pengangguran ini tentu tak terbatas pada angka-angka dan perhitungan statistik belaka. Kerumunan ribuan pencari kerja saat ada pembukaan lowongan kerja di berbagai tempat beberapa waktu lalu makin mempertergas bahwa negeri ini masih menyimpan banyak penganggur yang membutuhkan lapangan kerja.
 
Bidang Pendidikan
Bidang pendidikan termasuk yang menarik dicermati selama pemerintahan SBY-JK. Sebab, pada era inilah, anggaran pendidikan mencapai 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di hadapan Sidang Paripurna DPR Agustus tahun silam, Presiden Yudhoyono menyatakan pemerintah pada 2009 mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Dengan total belanja negara sebesar Rp 1.122, triliiun, alokasi anggaran pendidikan adalah sebesar Rp 224 triliun. Bandingkan dengan era sebelumnya, anggaran pendidikan berada pada kisaran 10 persen dari APBN.

Meski punya anggaran besar, ironinya, pada era SBY-JK pula, rakyat miskin makin susah bersekolah. Pada saat tahun ajaran baru, anak-anak usia sekolah di kalangan rakyat miskin kesulitan masuk ke sekolah negeri, alias milik pemerintah. Alasannya jelas: karena tak mampu membayar uang masuk. Apalagi masuk sekolah swasta., yang sudah tentu tak mungkin pula. Padahal, setiap masuk tahun ajaran baru, pemerintah selalu menegaskan tak ada pungutan alias pendidikan gratis pada jenjang pendidikan dasar, untuk di sekolah negeri.
Situasi tak jauh berbeda juga terjadi pada jenjang pendidikan tinggi. Sejak Undang-undang (UU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) diberlakukan, sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) mematok biaya masuk dalam kisaran angka jutaan rupiah. Alasannya, dalam beleid yang disahkan tahun lalu itu, PTN tak lagi mendapat subsidi melalui APBN dan berhak menentukan biaya pendidikan untuk mahasiswa baru mereka. Kalaupun PTN memberi kompensasi bagi mahasiswa tak mampu alias miskin, syaratnya pun tak mudah, yakni menjadi mahasiswa berprestasi. Persoalannya adalah, apakah para mahasiswa tak mampu bisa berprestasi. Bagaimana mau berprestasi? Bila masuk kuliah saja sering telat, karena harus mencari nafkah sebelum datang ke kampus. Kondisi ini pula yang membuat kesempatan bagi keluarga miskin untuk mengecap pendidikan tinggi makin sulit.

Kondisi ini tentu saja ironi. Di era Orde Baru, dengan anggaran pendidikan rata-rata 10 persen dari APBN, biaya pendidikan, baik di jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi, relatif masih terjangkau semua kalangan masyarakat. Tak ada yang tak bersekolah karena tidak mampu. Kini, saat anggaran pendidikan mencapai 20 persen dari APBN, rakyat  miskin justru tak bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Karena, penyelenggara pendidikan lebih mengedepankan pendekatan komersial dalam menerima siswa dan mahasiswa baru. Akibatnya, akses mereka untuk mendapatkan penghidupan yang layak, makin jauh dari harapan.

Bidang Kesehatan
Kondisi di bidang kesehatan bagai setali tiga uang dengan bidang pendidikan, untuk mengatakan tak lebih parah. Di negeri ini berlaku anekdot  "orang miskin dilarang sakit". Kalimat satir ini tidak muncul begitu saja, tapi berdasarkan fakta di lapangan. Seorang warga miskin di Jakarta beberapa waktu lalu, terpaksa harus menggendong jenazah anaknya yang telah meninggal dunia di rumah sakit, karena tak sanggup menyewa ambulans yang harganya tak terjangkau. Kasus-kasus seperti ini sering terjadi, meski tak terekspos media.

Rendahnya akses masyarakat miskin mendapat kesehatan memadai, dengan mengutip pemerintah adalah akibat anggaran terbatas. Pada 2009 misalnya, anggaran di sektor ini hanya 2,5 persen dari APBN, jauh dari yang disarankan Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni sebesar 15 persen. Di tahun yang sama, dengan APBN seribu triliun rupiah lebih, anggaran di bidang kesehatan berjumlah Rp 25 triliun. Jumlah ini tentu harus dibagi untuk berbagai kebutuhan: mulai fasilitas kesehatan, pelayanan kesehatan dan obat-obatan, jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas). Belum lagi untuk penyediaan berbagai kebutuhan, seperti  alat kesehatan, ambulans, Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS), misalnya.

Masalah tentu tak berkutat pada anggaran yang terbatas. Dengan mengacu pada pengobatan gratis bagi warga miskin, hingga kini masih banyak warga miskin yang ditolak pihak rumah sakit, saat hendak mendapatkan perawatan. Meski Jamkesmas didedikasikan untuk program berobat gratis pada masyarakat miskin, pada kenyataannya sulit ditemukan di lapangan. Masyarakat tidak mampu harus membekali diri dengan surat rekomendasi atau keterangan miskin: mulai  tingkat RT, RW, dan kelurahan. Tanpa surat keterangan yang tak mudah didapatkan--karena pelayanan yagn sangat birokratis--tak ada toleransi bagi orang miskin untuk mendapatkan pengobatan gratis.

Beberapa catatan ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan SBY-Boediono untuk periode 2009-2014 mendatang, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.(EPN)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini