Sukses

Yudhoyono, Polri, dan Efektifitas Inpres Kasus Gayus

Watak oportunisme dan sikap inferior pimpinan Polri di depan Presiden Yudhoyono akan makin memperkuat asumsi bahwa berapa pun banyaknya Inpres diterbitkan akan tidak efektif bila Presiden Yudhoyono sendiri masih tebang pilih dalam penegakan hukum dan pemberantasan mafia hukum.

Muradi

Perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait penanganan tersangka mafia pajak Gayus Tambunan yang diduga melibatkan sejumlah petinggi aparat penegak hukum dan elit politik mendapat apresiasi beragam. Dengan menerbitkan dua belas Instruksi Presiden (Inpres), sebagian kalangan menilainya sebagai sesuatu yang berlebihan dan aksi lempar tanggung jawab. Sebagaimana diketahui pemberantasan Mafia Hukum menjadi salah satu program prioritas Pemerintahan Yudhoyono, yang hingga setahun berjalan belum menunjukkan hasil memuaskan. Tak ayal, terbitnya Inpres tersebut dianggap sebagai bagian dari kegundahan politik Yudhoyono di tengah menurunnya kepercayaan publik kepada pemerintahannya.

Sementara, sebagian kalangan yang lain melihatnya sebagai jalan pintas Presiden Yudhoyono untuk mempercepat dan mengefektifkan kinerja segenap potensi penegak hukum dengan metode "keroyokan" yang efeknya diharapkan akan ada semacam check and balances antar institusi penegak hukum. Sehingga, makin sempit ruang gerak mafia hukum. Namun, agaknya Presiden Yudhoyono lupa bahwa di tengah harmonisasi antar penegak hukum di permukaan, ada "persaingan" di antara Polri, Kejaksaan Agung, KPK, maupun MA, yang sesungguhnya menghambat proses penegakan hukum itu sendiri. Kasus Cicak Versus Buaya, adalah bagian dari femomena dari persaingan antara Polri dan KPK dalam ranah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Tetapi, secara institusi, Polri yang paling menjadi sorotan atas penanganan kasus Gayus yang bertele-tele dan cenderung tidak berupaya menelusuri berbagai keterangan Gayus soal keterlibatan sejumlah petinggi Polri dan elite politik  serta pengusaha. Vonis tujuh tahun penjara yang diberikan pengadilan terhadap Gayus menjadi tidak esensial bagi publik, mengingat "ikan besar" yang disebut-sebut Gayus belum tersentuh. Publik menantikan langkah efektif dari aparat penegak hukum, khususnya Polri, untuk mengungkap keterlibatan sejumlah petinggi di republik ini dalam kasus penggelapan pajak dan mafia hukum.

Namun, berkaca pada penanganan sejumlah kasus sensitif  dan melibatkan lingkaran dekat kekuasaan, seperti pada penanganan Buloggate dan Bruneigate di era Presiden Abdurrahman Wahid atau kasus Sum Kuning dan penyelundupan mobil mewah di era Kapolri Hoegeng, Polri hanya akan berupaya untuk bermain aman. Dengan bermain aman, Kapolri tidak kehilangan muka di depan Presiden Yudhoyono; sementara di mata publik, setidaknya citra Polri tidak terlalu buruk. Watak oportunisme dan sikap inferior pimpinan Polri di depan Presiden Yudhoyono akan makin memperkuat asumsi bahwa berapa pun banyaknya Inpres diterbitkan, akan tidak efektif bila Presiden Yudhoyono sendiri masih tebang pilih dalam penegakan hukum dan pemberantasan mafia hukum. Hal tersebut diperkuat pernyataan mantan Kapolri Bambang Hendarso Danuri bahwa jika kasus Gayus diusut tuntas, Indonesia akan guncang. Dengan kata lain, terbitnya Inpres tersebut tidak memiliki korelasi untuk mempertegas komitmen Polri dalam penuntasan kasus Gayus dan mafia hukum. Keberadaan Inpres tersebut hanya menjadi amunisi politik Presiden Yudhoyono untuk meningkatkan pencitraannya.

Dalam konteks itulah menjadi masuk akal bila Presiden Yudhoyono sesungguhnya tetap menginginkan penanganan kasus Gayus dan mafia hukum dipegang Polri. Selain Polri cenderung dapat dikendalikan sesuai arah politik kebijakannya, juga disebabkan KPK dalam banyak hal belum dapat sepenuhnya dikendalikan Presiden Yudhoyono. Penegasan agar Polri bersinergi dengan institusi penegak hukum lainnya, sebut saja KPK, dalam hemat penulis, hanya retorika politik. Sedangkan dari sisi Polri, tentu lebih strategis untuk mengorbankan sejumlah jenderal yang diduga terlibat, daripada kehilangan kepercayaan dari Presiden Yudhoyono. Hal seperti ini dilakukan Kapolri Awaluddin Djamin yang memenjarakan wakilnya, Siswadji, karena terlibat korupsi atau Kapolri Da’i Bachtiar yang mengorbankan Kabareskrim saat itu, Suyitno Landung, karena terlibat praktik penyuapan agar tetap mendapat kepercayaan Presiden Megawati sebagai Kapolri. Apalagi Kapolri saat ini, Timur Pradopo, dianggap memiliki utang politik atas pengangkatannya meski namanya tak masuk daftar calon yang dianggap mampu oleh publik.

Ada tiga langkah yang kemungkinan akan dilakukan Polri untuk merespons Inpres tersebut. Pertama, Polri akan cenderung mengorbankan salah satu atau sejumlah perwira tinggi yang terlibat untuk menjawab ekspektasi publik berkaitan praktik mafia hukum di Polri. Langkah ini selain mengamankan agar penanganan kasus Gayus tetap dipegang Polri, juga menunjukkan pada publik bahwa Polri memiliki komitmen terkait kasus hal tersebut.

Kedua, Polri akan cenderung melibatkan institusi penegak hukum lain, terutama KPK, bila terkait dengan kasus-kasus sensitif yang melibatkan elite politik tingkat tinggi, sebagaimana yang selama ini beredar bahwa ada dugaan keterlibatan perusahaan Bakrie Group. Langkah ini selain memosisikan Polri tetap aman, juga agar hubungan baik petinggi Polri dengan sejumlah elite politik yang dimaksud tetap terjaga. Pola ini telah lama dipraktikkan oleh Polri dalam penanganan sejumlah korupsi kepala daerah dan DPRD, dengan melimpahkan kasus-kasus ke KPK agar tidak mengganggu hubungan antara Kapolda atau Kapolres setempat dengan pimpinan daerah. Dengan kata lain, KPK akan dijadikan tameng sekaligus anak panah untuk membidik sejumlah elite yang terlibat dalam mafia pajak dan mafia hukum tersebut, tanpa Polri harus berkeringat dan bermasalah relasinya dengan sejumlah elite politik.

Ketiga, berupaya mengalihkan isu tersebut dengan sejumlah penanganan penegakan hukum dalam bidang lain, misalnya pemberantasan terorisme dan penanganan keamanan di daerah rawan konflik. Sejak periode pertama Kepresidenan Yudhoyono, ada pengalihan isu yang terpola, khususnya pada kasus penegakan hukum. Mungkin publik masih ingat bagaimana Kasus Century yang tengah ramai dibahas DPR dan menjadi perhatian publik, harus dikalahkan dengan isu keberhasilan Densus 88 menangkap dan menewaskan sejumlah teroris yang paling dicari. Besar kemungkinan pengalihan isu tersebut akan melibatkan petinggi Polri, dengan sejumlah pola yang bukan saja terbaca tapi juga terprediksi.

Mengacu pada uraian di atas, menurut penulis, efektifitas Inpres tersebut bagi Polri khususnya dan agenda pemberantasan mafia hukum tergantung sejauh mana ekspektasi Presiden Yudhoyono berkaitan dengan program yang telah dibuatnya. Dengan sikap Presiden Yudhoyono seperti itu, keberadaan Inpres tersebut, selain hanya akan membuat kompetisi tidak sehat di antara penegak hukum, juga diragukan keefektifannya untuk Polri dan pemberantasan mafia hukum itu sendiri.


Penulis adalah staf pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP UNPAD, Bandung, dan kandidat doktor Ilmu Politik di Flinders Asia Centre, Flinders University, Australia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.