Sukses

Hipermaskulinitas FPI

Satu hal yang tidak banyak disorot media massa adalah mengapa organisasi seperti FPI cukup ampuh menarik minat anak-anak muda (khususnya anak-anak muda lelaki perkotaan) untuk bergabung dan bahkan bersedia melakukan tindak-tindak kekerasan?


Sudirman Nasir

Front Pembela Islam (FPI) kembali ramai dibicarakan dan diberitakan. Media-media massa  beberapa hari terakhir cukup gencar menampilkan berita dan komentar mengenai pembubaran secara paksa oleh sekelompok anak muda yang diduga berasal dari FPI terhadap kegiatan sosialisasi UU Kesehatan yang dilakukan Komisi IX DPR RI di Banyuwangi, Jawa Timur (Liputan 6, 24/06). Kali ini mereka memakai label keturunan PKI pada salah seorang anggota Komisi IX, dr Ribka Tjiptaning, sebagai pembenaran terhadap tindakan kekerasan mereka.

Rekam jejak tindak-tindak kekerasan FPI sudah cukup panjang. Pada 2008 lalu, sejumlah anggota FPI melakukan tindakan kekerasan terhadap aksi damai Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama di Jakarta. Beberapa waktu lalu, sejumlah anggota FPI melakukan intimidasi terhadap para waria peserta seminar hukum dan HAM di Depok (Liputan 6, 30/04). Juga masih segar dalam ingatan bagaimana FPI terkait dengan perusakan patung "tiga mojang" karya seniman Bali, Nyoman Nuarta, di Bekasi, baru-baru ini. Masih banyak lagi kasus kekerasan di mana FPI diduga kuat terlibat di dalamnya.

Namun satu hal yang tidak banyak disorot media massa adalah mengapa organisasi seperti FPI cukup ampuh menarik minat anak-anak muda (khususnya anak-anak muda lelaki perkotaan) untuk bergabung dan bahkan bersedia melakukan tindak-tindak kekerasan? Dengan menggunakan sudut pandang hegemonic masculinity (Connell, 2000) tulisan ini berusaha menilik daya tarik lembaga-lembaga yang rentan melakukan tindak-tindak kekerasan seperti FPI terhadap anak-anak muda laki-laki di perkotaan. Alasan ekonomi di tengah melambungnya angka pengangguran dan alasan menaikkan gengsi/prestise, kemungkinan berperan sangat besar mendorong sejumlah anak muda bergabung dalam lembaga seperti FPI. Memang belum ada penelitian mendalam yang khusus menyorot status sosial ekonomi anggota milisi seperti FPI, namun bukti-bukti anekdotal lewat liputan-liputan media cenderung menunjukkan banyak di antara mereka berasal dari kalangan menengah ke bawah di perkotaan.

Ian Wilson (The Changing Contours of Organised Violence in Post New Order Indonesia, 2005) juga menyatakan hal serupa mengenai latar-belakang sosial ekonomi anggota-anggota FPI. Hal ini bukan sesuatu yang baru karena penelitian Loren Ryter (Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Suharto’s New Order, Indonesia, 1998) mengenai Pemuda Pancasila (PP) telah menunjukkan kecenderungan yang mirip.

Wilson dan Ryter menyebutkan pula bahwa bahwa selain keuntungan material, keanggotaan dalam lembaga-lembaga seperti FPI maupun PP mendatangkan gengsi tersendiri bagi anak-anak muda itu di hadapan rekan sebaya maupun lingkungan sekitarnya.  Andri Rosadi (Hitam Putih FPI, 2008) selintas menyebut pula prestise sebagai motivasi anak-anak muda bergabung dalam FPI. Namun, para peneliti di atas kurang menukik  mengaitkan keterpinggiran sosial ekonomi anak-anak muda itu dengan hambatan mereka untuk memenuhi ideal-ideal maskulinitas/kelelakian (hegemonic masculinity) seperti dipaparkan Connell dalam banyak tulisannya.

RaeWyn Connell, ahli sosiologi Australia yang berperan besar dalam mengembangkan dasar-dasar studi mengenai maskulinitas menyatakan bahwa maskulinitas seharusnya bukan sekadar dilihat sebagai kebalikan femininitas namun harus  dikaitkan pula dengan konteks sosial-ekonomi, latar belakang ras/etnik, jender bahkan orientasi seksual. Connell mengungkapkan, anak-anak muda laki-laki dari kalangan menengah ke atas memiliki lebih banyak jalan untuk memenuhi ideal-ideal maskulintasnya lewat pendidikan dan karier/pekerjaan (meraih penghasilan besar, harga diri dan gaya hidup). Anak-anak muda laki-laki yang miskin dan mengalami keterpinggiran kronis menghadapi sangat banyak kesulitan untuk meraih ideal-ideal maskulinitas itu. Kemiskinan dan kelangkaan lapangan kerja membuat banyak di antara mereka mengalami kebosanan dan ketiadaan kebanggaan diri. Kondisi-kondisi seperti itu kemungkinan merupakan salah satu pendorong mereka bergabung dalam lembaga-lembaga yang rentan melakukan kekerasan seperti FPI.

Studi Gary Barker (Dying to be Men: Youth, Masculinity and Social Exclusion, 2005) di Amerika Serikat, Amerika Latin dan Afrika menunjukkan rentannya banyak anak muda laki-laki yang miskin untuk bergabung dalam geng ataupun dalam lembaga yang mengusung politik identitas seperti ras, etnis maupun agama dan   mengembangkan maskulinitas lain yang destruktif dan agresif (hypermasculinity). Barker mengingatkan, geng ataupun milisi sipil memberi suasana karnaval (carnivaluesque), suasana keramaian yang membuat mereka untuk sementara melupakan keterhimpitan hidup sehari-hari.

Selain itu, geng dan lembaga kekerasan memberi suasana kebersamaan/persaudaraan (brotherhood) dengan sesama anggota. Suasana-suasana seperti ini gampang membuat mereka merasa memiliki ilusi kekuasaan untuk melakukan tindakan kekerasan kepada pihak “lain” atau “lawan”. Kehadiran dan peran tokoh karismatik ataupun demagog dalam sebuah geng atau milisi sipil akan membuat peluang melakukan tindak kekerasan semakin besar. Apalagi, karena dugaan  keterlibatan sejumlah elit militer/kepolisian/politisi untuk mendukung lembaga-lembaga kekerasan itu membuat tindak kekerasan yang mereka lakukan sering tidak mendapatkan sanksi dari penegak hukum. Bukti-bukti anekdotal lewat liputan media-media massa maupun hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa ciri-ciri di atas hampir seluruhnya bisa ditemui dalam lembaga seperti FPI.

Juga menarik dikaji lebih dalam mengenai kecenderungan menguatnya “hipermaskulinitas Islam” di Indonesia seperti dalam kasus FPI. Pimpinan FPI secara lihai mengeksploitasi politik identitas (Islam) untuk mendapatkan dukungan dan meraih sebanyak mungkin anggota dari kalangan menengah ke bawah. Sejumlah lembaga lain di Indonesia saat ini juga telah mengeksploitasi identitas etnis.

Dalam konteks menguatnya politik identitas, keterhimpitan ekonomi dan hipermaskuilinitas seperti di atas tuntutan sejumlah kalangan untuk membubarkan lembaga-lembaga kekerasan seperti FPI tidak terlalu strategis. Memberi hukuman keras terhadap pelaku kekerasan sambil pada saat yang sama menanggulangi keterpinggiran struktural anak-anak muda kalangan miskin untuk jangka panjang jauh lebih efektif. Dua hal itu, menurut saya, akan berperan menekan kekerapan tindak-tindak kekerasan sekaligus mengurangi daya tarik lembaga rentan kekerasan seperti FPI.


Penulis adalah kandidat PhD di Universitas Melbourne, Australia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.