Sukses

Dua Kado untuk Polri

Langkah terbaik, kekacauan sistemik diatasi secara sistemik pula. Batu pijakannya adalah bagaimana memutus regenerasi personel polisi yang koruptif. Untuk tujuan itu, tak lain, Polri harus habis-habisan memperkuat lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihannya.


Reza Indragiri Amriel


Ada sesuatu yang tidak lazim pada perhelatan hari Bhayangkara yang jatuh pada hari ini. Hari ulang tahun Polri kali ini diselenggarakan secara tertutup di Mako Brimob Kelapa Dua. Dengan latar pencitraan yang sedang guncang seperti saat ini, saya memandang format perayaan hari ulang tahun Polri itu sebagai bentuk perayaan yang tepat. Sudah semestinya demikian.

Intinya mawas diri dan mencoba tampil lebih bersahaja. Karena dengan reputasi yang anjlok, sungguh Polri tidak punya cukup alasan untuk merayakan hari jadinya dengan high profile dan gegap gempita. Saya ingin membingkiskan dua kado bagi Polri.

 
Kado Pertama

Kebobolan aksi teror, semestinya membuat Polri naik pitam. Lolosnya penyelundupan narkoba, seharusnya membikin wajah Polri merah padam. Tapi satu hal yang hampir bisa kita pastikan adalah kabar tentang rekening buncit perwira Polri, yang tentu membuat Polri kesal bukan alang kepalang.

Kabar tentang dugaan korupsi perwira Polri semakin punya daya ledak yang dahsyat, karena mencuat menjelang Polri merayakan hari Bhayangkara. Kehebohan ini sungguh jauh dari kado indah yang biasanya diterima oleh orang atau lembaga yang berulang tahun.

Menanggapi sinyalemen tadi, sekian banyak forum kajian langsung memberikan sorotan. Begitu pula dengan para pengamat kepolisian, langsung angkat suara. Semuanya, saya nilai, berkutat pada isu-isu elitis yang sudah barang tentu menjadi hidangan manis media massa.

Tentu, isu-isu kelas tinggi yang sering dikaitkan dengan korupsi di tubuh Polri, perlu disikapi dengan baik. Namun, karena korupsi diduga kuat sudah menjadi suatu fenomena sistemik, maka penanganan korupsi di organisasi Polri semestinya tidak memakai pendekatan ala ‘pemadam kebakaran’.

Pendekatan ala "pemadam kebakaran" bisa jadi bukan hanya ciri Polri. Kebanyakan organisasi kepolisian di dunia, menurut Marx (1999), dikenal sangat jarang melakukan evaluasi. Pencermatan ulang terhadap organisasi dan personel seringnya dilakukan manakala mencuat masalah. Sudah terbongkar, baru heboh. Sudah heboh, baru sibuk perbaiki sana rombak sini.

Langkah terbaik,  kekacauan sistemik diatasi secara sistemik pula. Batu pijakannya adalah bagaimana memutus regenerasi personel polisi yang koruptif. Untuk tujuan itu, tak lain, Polri harus habis-habisan memperkuat lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihannya. Di lemdiklat, Polri harus mengembangkan kurikulum yang tidak sebatas membahas masalah penegakan hukum untuk keperluan eksternal (korupsi oleh masyarakat), tetapi juga penegakan hukum secara internal. Artinya, para anak didik di setiap jenjang pendidikan harus belajar tentang bagaimana menangani korupsi di organisasi Polri sendiri.

Absennya kurikulum pemberantasan korupsi internal lagi-lagi sesungguhnya bukan hanya dialami Polri. Tidak sedikit organisasi kepolisian di negara-negara lain yang belum memasukkan materi itu ke dalam kurikulum pendidikan para personelnya. Bagi Polri,  keberadaan kurikulum sedemikian rupa sudah kian mendesak diselenggarakan. Jadi tidak cukup lagi Polri sebatas berfokus pada isu-isu elitis seperti yang sering disorot masyarakat selama ini, tetapi harus secara lebih serius mendaya-gunakan jajaran lemdiklatnya.

Bukan lagi memosisikan lemdiklat sebagai unit pemberian sangsi bagi personel bermasalah. Bukan pula sebagai penampungan pejabat Polri yang bersiap memasuki masa pensiun. Tapi lemdiklat sebagai kawah candradimuka untuk mentransfer pengetahuan dan menumbuhkan imunitas aparat Tribrata terhadap godaan korupsi.

 
Kado Kedua

Selanjutnya, tentang Kepala Polri yang akan datang. Ini perlu singgung, karena Jenderal Bambang Hendarso Danuri tak berapa lama lagi akan memasuki masa pensiun. Di masyarakat mulai mengemuka desas-desus tentang siapa yang akan menjadi pengganti BHD. Yang bikin agak cemas, tidak sedikit kalangan yang menilai para kandidat Kapolri yang baru belum ada yang benar-benar punya komitmen dan prestasi signifikan di bidang pemberantasan korupsi.

Tentu saja, sikap antikorupsi harus dipandang sebagai harga mati. Kontrak kerja yang tidak bisa ditawar-tawar. Namun yang perlu semua pihak ingat, porsi terbesar kerja kepolisian sesungguhnya bukan pada pemberantasan korupsi, yang termasuk dalam ranah penegakan hukum. Lingkup kerja polisi yang paling besar adalah pelayan, pengayom, dan pelindung masyarakat. Jadi seorang Kapolri, hemat saya, idealnya adalah figur yang memang punya catatan kuat di tiga kegiatan tadi, yaitu pelayanan, pengayoman, dan perlindungan publik.

Torehan positif pada pembasmian terorisme, penangkapan koruptor, pembongkaran sindikat narkoba, pencidukan komplotan perdagangan manusia, memang penting. Tapi kepercayaan publik pada Polri sebenarnya tidak terlalu ditentukan oleh area-area kerja semacam itu.

Kriminolog Adrianus Meliala mengatakan, perhatian masyarakat terhadap Polri akan terhisap pada seberapa jauh Polri mampu menanggulangi kasus-kasus besar semacam di atas. Namun, kepercayaan publik adalah persoalan berbeda. Kepercayaan masyarakat akan tumbuh terpelihara berdasarkan kinerja aparat Polri dalam tugas keseharian yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat itu sendiri.

Apalagi, perlu digaris-bawahi, karena penegakan hukum faktanya hanya sebagian kecil dari total kerja polisi, maka yang lebih penting adalah Kapolri mendatang dikenal dan dikenang sebagai perwira Tribrata yang berwibawa, hangat, dan dapat dibanggakan masyarakat.

Kita sadar, mencari kandidat Kapolri yang seperti itu bukan urusan mudah. Ibarat mencari manusia setengah dewa. Tapi juga bukan sesuatu yang mustahil. Irjen Anton Bachrul Alam (ABA) adalah salah satu perwira tinggi Polri yang saya pandang sesuai dengan kriteria di atas.  Sebelum ditarik sebagai Staf Ahli Kapolri bidang Sosial Ekonomi, ABA pernah menduduki jabatan sebagai Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur. Siapapun tahu, menjadi orang nomor satu di lingkungan Polda Jawa Timur adalah prestasi yang mengagumkan.

Melihat rekam jejaknya, ABA memiliki jam terbang yang merata di Polri. Selain memangku jabatan struktural, ABA pernah bertugas di bidang reserse, lalu lintas, dan pengawasan internal. Artikulasinya sangat jernih; itu yang terlihat saat ABA bekerja di area kehumasan. Sejauh ini, tidak terlihat catatan suram tentang kinerja apalagi integritas ABA. Dari segi kompetensi keras, ABA juga tidak meragukan.

Sebagai ilustrasi, ABA melakukan pendekatan unik untuk membangun kedekatan dengan masyarakat. Dia teratur menyambangi masjid-masjid di wilayah penugasannya, baik sebagai makmum, imam, maupun khatib atau penceramah. Raut wajahnya yang halus juga memberikan efek psikologis yang meneduhkan. Sekian banyak tulisan masyarakat di media maya bahkan mencantumkan julukan "ustadz" bagi ABA.

Kebanyakan masyarakat percaya akan pentingnya profesionalisme. Tapi masyarakat juga sering lalai untuk memasukkan relijiusitas atau gaya hidup agamis sebagai salah satu unsur profesionalisme yang khas kepunyaan budaya Indonesia. Padahal, apa lagi yang lebih andal ketimbang agama, untuk menangkis segala bentuk penyimpangan? Nah, pada sosok ABA, saya menangkap adanya nilai lebih itu.

Polri masa kini dan masa depan perlu dipimpin oleh orang yang dalam kesehariannya benar-benar membuktikan dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat. Toh, bukankah kompetensi lunak macam itu yang selama ini dinilai sebagai kelemahan utama personel Polri? Jadi, tanpa maksud mengesampingkan dimensi penegakan hukum, namun kompetensi pengabdian dan pelayanan harus ditekankan sebagai syarat bagi Kapolri yang baru.


Penulis adalah alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne, Australia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.