Sukses

Dua Keniscayaan Polri

Sesungguhnya sangat menggelikan ketika Mabes Polri beberapa pekan lalu tetap bersikukuh tidak ada makelar kasus di organisasi Tribrata itu.

Reza Indragiri Amriel


Sesungguhnya sangat menggelikan ketika Mabes Polri beberapa pekan lalu tetap bersikukuh tidak ada makelar kasus di organisasi Tribrata itu. Toh sangat banyak ilmuwan yang berpandangan, tindak korupsi di lingkungan kepolisian--termasuk manipulasi perkara--adalah sama usianya dengan umur korps penegak hukum sendiri. Jadi bantahan atau pengingkaran Polri tentang keberadaan makelar kasus, benar-benar terdengar bagaikan utopia di siang bolong.

Keniscayaan Pertama

Munculnya rupa-rupa ketidak-semenggahan perilaku (misconduct), termasuk tindak korupsi, di organisasi kepolisian tak berlebihan untuk disebut sebagai kondisi yang kodrati. Para akademisi biasa menyebut kondisi itu sebagai akibat yang dimunculkan oleh faktor-faktor konstan. Disebut "konstan", karena menunjuk pada unsur-unsur institusional yang relatif tidak bisa dihilangkan.

Faktor pertama adalah diskresi. Diskresi, bagi polisi, merupakan "senjata" terandal. Dalam metafora Farouk Muhammad, mantan Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, diskresi ibarat pedang bermata ganda. Ketika digunakan melalui filter kognitif dan diselimuti bisikan hati nurani, diskresi menjadi amunisi terdahsyat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Tetapi manakala diskresi dimanfaatkan secara semena-mena, diskresi tak ubahnya senjata pemusnah hak asasi manusia yang paling mematikan.

Agar efektif, diskresi, dengan demikian, benar-benar tergantung pada diri masing-masing personel polisi. Sadar akan kekuatan diskresi, personel tak pelak dapat tergoda sewaktu-waktu untuk menggunakannya untuk keperluan yang menyimpang.

Faktor kedua, kerja polisi menyangkut penggunaan kekuasaan, bahkan sebagian di antaranya juga mengerahkan kekerasan. Pada saat yang sama, tidak sedikit area kerja polisi yang berada di wilayah tertutup. Penyalah-gunaan kekuasaan dan kekerasan di wilayah tertutup, keduanya menjadi prakondisi bagi berlangsungnya penyimpangan perilaku personel polisi.

Faktor ketiga, supervisi yang tidak adekuat dari atasan. Sekian banyak survei, termasuk yang dilakukan terhadap polisi Chech, menemukan bahwa kebanyakan personel polisi memandang atasan sebagai pihak yang sejatinya paling bisa diandalkan sebagai model ideal dalam rangka pembersihan organisasi. Persoalannya, pada saat yang sama, polisi-polisi tersebut juga menilai para penyelia mereka bukanlah personel polisi yang bersih. Alih-alih, para senior itu justru menjadi model bagi berseminya tindak-tanduk koruptif.

Faktor keempat, persepsi negatif polisi terhadap masyarakat. Arogansi yang awalnya bersifat individual mewabah menjadi arogansi korps. Sorotan publik terhadap integritas dan profesionalitas institusi kepolisian acap ditanggapi sebagai sesuatu yang mengada-ada. Resisteni polisi terhadap tekanan masyarakat, sangat kuat. Pandangan yang merendahkan publik tak pelak menjadi warna budaya organisasi polisi, dan bukan lagi tingkah laku individu per individu semata.

"Beruntung", keempat faktor konstan yang membuat korupsi menjadi "nyaris" keniscayaan tersebut selalu bisa ditutupi dari waktu ke waktu berkat adanya the Code atau the Blue Curtain atau the Code of Silence. Ketiga istilah itu merupakan padanan jiwa korsa yang distortif, yakni solidaritas untuk menutup-nutupi kesalahan sesama anggota korps.

Berkat the Blue Curtain pula, hampir tidak pernah terungkap sama sekali angka ril tindak korupsi di institusi kepolisian. Angka-angka yang mengemuka hanya sebatas indikasi, yakni besaran yang datang dari tindakan anti-korupsi. Bukan dari nominal sebenarnya yang dikorupsi.

The Code of Silence sebagai kultur menyimpang baru bisa didobrak manakala peniup peluit (whistle blower) beraksi. Dalam kehebohan makelar kasus pajak di Mabes Polri, Komisaris Jenderal Susno Duadji adalah sang peniup peluit itu. Berkat Komjen Susno pula, publik jadi tahu sebagian angka ril korupsi di Mabes Polri.

Komjen Susno  kini sedang di atas angin. Namun, terlepas bagaimana akhir perang bintang antara Komjen Susno dan Mabes Polri, ada sejumlah konsekuensi yang tampaknya akan muncul.

Pertama, baku hantam ini terutama sekali akan meruntuhkan wibawa personel polisi di lapangan, khususnya para personel Polri yang berpangkat rendah. Masyarakat yang pada dasarnya sudah tidak begitu simpati pada Polri, akan kian memandang enteng kewibawaan aparat berseragam coklat itu. Mental aparat pun tak terelakkan anjlok akibat pandangan mencibir yang ditunjukkan khalayak luas.

Kedua, siapapun yang akan "katakanlah" menang dalam adu gelut antara Komjen Susno dan Mabes Polri, harga diri (dignity) Polri tetap saja runtuh. Jadi, yang khalayak lihat sesungguhnya bukan pertaruhan antara seorang Susno dan para individu yang menjabat sebagai petinggi Mabes Polri belaka. Nama baik korps Tribrata, bukan yang lain, adalah yang paling dipertaruhkan. Dan celakanya, ini adalah pertaruhan yang teramat mudah untuk diterka bagaimana akhirnya. Itu tadi: dignitiy atau kehormatan Polri yang porak poranda, siapapun "juara"-nya.

Ketiga, apa yang sesungguhnya tengah diperjuangkan oleh Komjen Susno? Juga, apa sebenarnya yang sedang dipertahankan oleh Mabes Polri? Mereka mudah-mudahan tidak lupa, kodrat polisi adalah sebagai anak kandung masyarakat. Jadi, jangan sampai akibat dua gajah bertarung, pelanduklah yang terjepit di tengah-tengah. Jangan sampai dua kubu Polri saling unjuk taring, namun justru masyarakatlah yang terengah-engah kehilangan napas.

Keempat, friksi antarsesama anggota Polri akan mudah dibaca oleh para bandit sebagai kesempatan emas untuk melakukan serbaneka tindak kejahatan. Polemik tentang makelar kasus membuat Polri lengah, energi terforsir, kewaspadaan dan kesigapan kerja mereka menurun. Konsekuensinya, angka dan kualitas kejahatan yang ditakutkan akan meningkat.

 Keniscayaan Kedua

Kasus Gayus Tambunan semestinya tidak dibingkai sebagai manipulasi kasus perpajakan semata. Kasus Gayus harus dijadikan sebagai momentum pembersihan organisasi Polri, beserta lembaga-lembaga penegakan hukum lainnya.

Dalam konteks yang lebih luas tersebut, dengan segala hormat saya, sepertinya Jenderal Bambang Hendarso Danuri tidak cukup kuat untuk menghadapi guncangan internal di lembaga yang dipimpinnya. Terlebih, setelah sebelumnya sempat terkesan melindungi dua jenderalnya yang disebut-sebut Komjen Susno sebagai makelar kasus, kini Kapolri kembali mengingkari adanya kebiasaan pemberian setoran dari bawahan kepada atasan di institusi Polri. Padahal, sudah sejak lama, hal-hal semacam itu, termasuk "lelang jabatan", menjadi obrolan sehari-hari di ruang publik.

Apa boleh buat; tanpa maksud menihilkan catatan positif yang telah dicapai oleh Kapolri saat ini, namun bisa jadi Indonesia butuh rezim Polri baru untuk mengakhiri masalah makelar kasus dalam kasus Gayus. Lebih mendasar lagi, untuk membenahi Polri secara lebih radikal.

Polri butuh reformasi organisasi. Polri butuh revitalisasi spirit profesionalisme. Tentu saja, seberat apapun masalah yang mereka hadapi, Polri butuh dukungan kita--masyarakat Indonesia.

Allahu a'lam.


Penulis lulus dari studi Psikologi Forensik di The University of Melbourne, Australia.


* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.