Sukses

Media Sosial dan Demokratisasi

Selama 2009 penggunaan media sosial seperti facebook atau twitter oleh kelas menengah Indonesia cukup marak: sebagai tempat nongkrong, orang berkumpul dan berinteraksi sambil ditonton atau menonton orang lain.

Roby Muhamad

Selama 2009 kita menyaksikan maraknya penggunaan media sosial seperti facebook atau twitter oleh kelas menengah Indonesia. Utamanya media sosial digunakan sebagai tempat nongkrong: orang berkumpul dan berinteraksi sambil ditonton atau menonton orang lain. Karena itu, tidak mengherankan jika para pemasar lalu aktif mempromosikan media sosial sebagai ajang komersialisasi baru. Namun, pada 2009 juga menunjukkan pemakaian media sosial di luar dunia gaul dan komersial. Kita menyaksikan, untuk pertama kalinya di Indonesia, media sosial digunakan untuk aktivisme publik.

Kita ingat bagaimana gerakan mendukung Bibit-Chandra di facebook bergulir dengan cepat dan menarik lebih dari satu juta pendukung yang berperan memberikan tekanan moral untuk dalam skandal “Cicak lawan Buaya”. Gerakan digital ini pun ternyata mampu  diterjemahkan menjadi aksi nyata di lapangan meski dengan skala yang lebih kecil dan memiliki karakter kelas menengah perkotaan yang kental—misalnya,  pemakaian band-band populer untuk menarik massa.

Selain itu, kampanye di twitter  #indonesiaunite yang muncul setelah pemboman kembar di dua hotel di Jakarta pada Juli 2009 membuat banjir simpati dan mempererat solidaritas nasional dan internasional untuk menolak terorisme.

Contoh lain adalah penggalangan dukungan terhadap Prita Mulyasari yang dituduh melakukan pencemaran nama baik oleh RS Omni International hanya karena Prita membagi pengalaman menerima pelayanan buruk di RS Omni kepada teman-teman dekatnya melalui e-mail. Prita selanjutnya dijerat oleh UU Informasi dan Transaksi Elektronik  yang baru, tapi akhirnya pengadilan memjatuhkan vonis bebas untuk Prita.

Singkatnya, media sosial telah memberikan ruang baru bagi publik untuk menumpahkan kekesalan, menyuarakan aspirasi, dan menggalang kekuatan untuk melawan tirani kekuasaan atau menerobos birokrasi yang tidak berfungsi.

Hampir tidak mungkin kita ketahui dengan pasti faktor-faktor penentu kesuksesan aktivisme di media sosial ini. Seperti yang sudah saya jelaskan dalam kolom sebelumnya [baca: Gerakan Sosial Digital], banyak faktor yang bermain di sini, dari mulai media, pembingkaian isu, hingga situasi umum. Meski demikian, ada satu fitur unik dari facebook yang sepertinya berguna untuk memobilisasi dukungan melalui internet.Yaitu, fitur live feed  yang membuat kita dapat mengetahui aktivitas teman-teman. Alhasil, jika ada sekelompok teman kita atau orang-orang yang pendapatnya kita hargai bergabung dalam sebuah grup yang sama secara bergerombol, kita cenderung untuk ikut bergabung juga.

Melihat kesuksesan gerakan facebook Bibit-Chandra, muncul berbagai gerakan facebook lain dengan isu yang beragam, mulai dari isu yang sangat penting seperti penolakan terhadap pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung, hingga dukungan terhadap Luna Maya yang dilaporkan ke polisi oleh beberapa pekerja infotainment.

Tidak mengherankan jika ternyata tidak semua grup ini sukses mengumpulkan banyak pendukung. Pasalnya, tidak semua isu mampu mendapatkan dukungan seragam dari berbagai kalangan.

Dari sini kita melihat potensi media sosial menjadi pisau bermata dua. Media sosial dapat digunakan untuk menjangkau orang banyak dan mempersatukan mereka. Tetapi media sosial dapat juga digunakan untuk , baik secara sengaja maupun tidak,  mempertajam perbedaan sehingga menampakkan dengan jelas kutub-kutub yang saling memusuhi satu sama lain.

Contohnya adalah reaksi terhadap skandal Bank Century. Kasus ini seyogyanya kasus biasa dalam sistem demokrasi saat pejabat publik diminta mempertanggung jawabkan keputusannya kepada wakil rakyat di parlemen. Tetapi karena ketidakpercayaan yang begitu tinggi, kasus ini bergulir menjadi isu politik yang panas. Mereka yang mendukung kebijakan pemerintah menalangi Century menganggap adanya konspirasi untuk menjatuhkan pejabat yang selama ini dikenal memiliki integritas tinggi. Maka muncul grup-grup membela pribadi pejabat-pejabat tersebut. Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa adalah proses hak angket DPR adalah proses kontrol yang wajar dan penting, meski diakui pula DPR bukan lembaga yang memiliki reputasi tinggi.

Media sosial dapat mempertajam perbedaan ini. Hal ini karena biasanya kita berteman dengan orang yang memiliki minat, opini, atau latar belakang yang sama dengan kita. Teman-teman kita ini cenderung berteman juga satu sama lain sehingga membentuk lingkar pertemanan yang intim. Akibatnya, di media sosial, kita cenderung membaca opini tentang suatu isu dari sudut pandang yang sama sehingga memperteguh pendapat kita masing-masing.

Karena itu ada kecenderungan saat media sosial dijadikan tempat kita mencari pendapat yang sama dan memperkuat pendapat yang sudah kita miliki. Untuk hal yang berkaitan dengan isu-isu yang kita anggap penting, kita cenderung mencari orang atau pendapat yang membenarkan pendapat sendiri. Hal yang terjadi adalah polarisasi opini.

Jika ini yang terjadi, memang ironis. Pada awalnya, Internet dan media sosial dianggap akan membantu proses demokrasi dengan membuka informasi seluas-luasnya sehingga orang dapat memiliki opini yang lebih obyektif dan rasional. Tetapi jika orang menggunakan media sosial hanya untuk mencari dan mengumpulkan pendapat yang mendukung pendapat sendiri, maka yang terjadi bukan proses demokrasi melainkan proses polarisasi yang berpotensi memecah belah.

Inilah tantangan media sosial ke depan. Yaitu, apakah media sosial akan menjadi tempat pembelajaran luas, tempat  orang mau belajar dan mendengarkan pendapat yang berbeda, atau menjadi arena untuk saling memuji mereka yang sama dan mengejek mereka yang berbeda.


Roby Muhamad menulis disertasi tentang jejaring sosial di Columbia University, AS

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini