Sukses

Dinamika Politik Timor Leste di Bawah Xanana

Kota Dili, 20 Mei 2002. Bendera nasional Timor Leste berkibar dalam sebuah upacara tengah malam. Mantan gerilyawan Xanana Gusmao diambil sumpahnya sebagai Presiden Timor Leste pertama setelah memenangkan pemilu pada April 2002.

Liputan6.com, Jakarta: Kota Dili, 20 Mei 2002. Bendera nasional Timor Leste berkibar dalam sebuah upacara tengah malam. Mantan gerilyawan Xanana Gusmao diambil sumpahnya sebagai Presiden Timor Leste pertama setelah memenangkan pemilu pada April 2002. Dalam upacara tengah malam tersebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan baru Timor Leste.

Setelah melalui masa peralihan yang cukup berat sejak referendum 1999, di awal hari itu Timor Leste menjadi negara mandiri. Pengalaman yang panjang dan melelahkan, mengingat ratusan tahun rakyat Timor ketika itu berada di bawah kekuasaan kolonial Portugal dan hampir 25 tahun menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Usai dilantik, Gusmao menyerukan rekonsiliasi dan membuka hubungan baru dengan Indonesia.

Upacara pelantikan itu dihadiri sejumlah pejabat penting saat itu, antara lain Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, dan Perdana Menteri Australia John Howard. Walaupun dikecam banyak pihak, Presiden Megawati Sukarnoputri hadir dalam upacara tengah malam itu. Sedangkan Uskup Carlos Belo, peraih Nobel Perdamaian, berdoa bersama masyarakat untuk perdamaian.

Di saat yang sama, The United Nation Mission of Support of East Timor (UNMISET) menggantikan peran United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET) di Timor Leste [Baca: UNTAET Muluskan Bisnis Aussie]. Di bawah lembaga itu, Mari Alkatiri lantas terpilih menjadi perdana menteri pertama Timor-Leste, mendampingi Xanana di pucuk pemerintahan.

Dilanda Krisis                                                 

Pascakemerdekaan, resesi ekonomi melanda Timor Leste. Penggunaan mata uang dolar AS membuat harga barang kebutuhan sehari-hari menjadi mahal.  Krisis politik dan keamanan kian menjadi-jadi. Pada kurun April-Mei 2006, kerusuhan terjadi akibat pemecatan terhadap sekitar enam ratus orang angkatan bersenjata yang desersi. Kerusuhan dan kontak senjata pun terjadi di jalan-jalan di Kota Dili. Puluhan orang tewas dan hilang, serta ribuan orang mengungsi. Dili benar-benar mencekam.

Saat itu, Presiden Gusmao menyatakan negara dalam keadaan bahaya dan mengambil alih kekuasaan perdana menteri. Alkatiri diminta mundur dari jabatannya atau dipecat. Alkatiri menuding konflik bersenjata itu sebagai permainan politik Xanana untuk menyingkirkannya. Alkatiri yang semula menginginkan peralihan kekuasaan melalui Pemilu 2007 akhirnya memilih mundur dari jabatannya pada 26 Juni 2006.

Presiden Gusmao kemudian memilih Jose Ramos Horta sebagai perdana menteri pada 8 Juli 2006 dan dilantik dua hari kemudian di bawah pengawalan pasukan penjaga perdamaian.

Setelah mengundurkan diri, Alkatiri harus menghadapi penyelidikan terkait kerusuhan di negara itu. Pria keturunan Yaman ini dituduh sebagai orang yang berada di balik pembagian senjata kepada sekelompok milisi sipil. Jaksa Agung Timor Leste pada 7 Juli 2006 menjadikannya tersangka atas kasus tersebut.

Pemilu 2007

Setelah menjadi negara berdaulat, Timor Leste menggelar pemilihan presiden pada 9 April 2007. Pemilu yang digelar murni oleh bangsa Timor Leste ini diikuti oleh delapan calon, yaitu Fransisco Guterres, Ramos Horta, Fernando Lasama, Fransisco Xavier do Amaral, Lucia Lobato, Manuel Tilman, Avelino da Silva, dan Joao Carrascalao. Pertarungan diperkirakan terjadi antara Ramos-Horta yang masih menjabat sebagai perdana menteri, Francisco Guterres yang diusung Fretilin (Frente Revolucionario de Timor Leste Independent), dan Francisco Xavier do Amaral dari kubu independen yang sebelumnya menjadi pesaing Xanana dalam pemilu pertama.

Xanana Gusmao tidak ikut bertarung dalam pilpres kali ini, dan memberikan dukungannya kepada Horta. Di balik itu semua, Xanana mengemban tugas berat. Yakni Pilpres 2007 harus sukses, karena kesuksesan penyelenggaran pemilu akan membuktikan bahwa Timor Leste bukan negara gagal.

Lebih dari 4.000 polisi internasional dan lokal menjaga tempat-tempat pemungutan suara saat pemilu berlangsung. Sebanyak 1.000 pasukan internasional yang dipimpin Australia juga dikerahkan untuk menjamin keamanan.  Sekitar 522 ribu pemilih terdaftar sebagai calon pemilih.

Hasil pemilu putaran pertama mengantarkan Fransisco Guterres  dengan perolehan 28,79 persen suara dan Ramos Horta dengan 22,5 persen suara maju ke putaran kedua. Sedangkan enam kandidat yang lain harus terlempar dari pertarungan, yakni Fernando Lasama dengan 18,52 persen suara, Fransisco Xavier do Amaral 12,82 persen, Lucia Lobato 9,24 persen, Manuel Tilman 4,22 persen, Avelino da Silva 2,12 persen, dan Joao Carrascalao 2,12 persen.

Horta kemudian terpilih sebagai Presiden Timor Leste kedua pada 20 Mei 2007. Dalam pemilu putaran kedua, peraih Nobel Perdamaian itu mengalahkan Guterres dengan 69 persen suara. Sementara Guterres hanya mendapatkan 31 persen suara. Walaupun sempat diberitakan pilpres diwarnai manipulasi, ancaman, dan terror, toh pilpres berlangsung aman.

Pemilu parlemen kemudian dilaksanakan pada tahun yang sama untuk memilih 65 anggota parlemen. PBB menilai pemilu berjalan lancar dan damai. Pemilu pun dipuji para pemantau asing sebagai pemilu yang bebas dan jujur, walaupun ketegangan masih terasa pascakonflik berdarah April dan Mei 2006. Apalagi karena pemimpin tentara yang desersi, Mayor Alfredo Reinado belum tertangkap.

Untuk pertama kalinya, pemilu di Timor Leste diikuti 14 partai politik, yaitu, Unidade Nacional Democratica da Resistencia Timorense (UNDERTIM), Congresso Nacional de Reconstrucao de Timor-Leste (CNRT), Partidu Republikanu (PR), Partido Democrata Cristao (PDC), Partido Democratika Republica de Timor (PDRT), Uniao Democratica Tomorense (UDT), Partido Democratico (PD), Partido Socialista de Timor (PST), Aliansa Demokratika, Partido Nacionalista Timorense (PNT), Partidu Milenium Demokratiku (PMD), Coligacao Association of Timorese Democrats-Social Democrat Party (ASDT-PSD), Frente Revolucionaria do timor-Leste Independente (Fretilin) dan Partidu Unidade Nacional.

Tewasnya dua pendukung Xanana Gusmao di awal kampanye menimbulkan kekhawatiran akan adanya tindak kekerasan. Namun kampanye akhirnya berlangsung damai, dengan hanya beberapa insiden kecil.

Fretilin masih memenangkan perolehan suara walaupun bukan lagi mayoritas mutlak. Fretilin mengumpulkan suara 29 persen dari 412.679 suara sah. Pesaing terdekatnya adalah CNRT yang dipimpin Xanana Gusmao. CNRT mendapat 24,1 persen suara. Koalisi ASDT-PSD memperoleh 15,8 persen, sementara PD meraih 11,3 persen.

Dengan perolehan suara ini Fretilin menduduki 21 dari 65 kursi parlemen, CNRT meraih 18 kursi, partai gabungan ASDT-PSD mendapat 11 kursi, dan PD delapan kursi. Xanana kemudian menggalang koalisi dengan partai lain, sehingga Presiden Ramos Horta menetapkan Xanana Gusmao menjadi Perdana Menteri.

Panasnya suhu politik di Timor Lesta, jelas tak terhindarkan. meski Xanana dan Horta berhasil menguasai kepemimpinan elit Timor Lesta, namun ada saja kritik bermunculan. Ketua Partai Fretilin, Mari Alkatiri menuding pemerintahan Xanana inskonstitusional. Ia pun mendesak percepatan Pemilu pada 2009. (ROM)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini