Sukses

Keluar Juga Kerikil dalam Sepatu Itu

Sepuluh tahun lalu, rakyat Timor Timur memberikan suara. Suhu politik kian memanas saat masa penantian pengumuman hasil jajak pendapat. Pada 4 September 1999 hasilnya diumumkan. Ternyata 78,5 persen rakyat Timor Timur memilih merdeka.

Liputan6.com, Jakarta: Soal Timor Timur, Bacharuddin Jusuf Habibie membuat sejarah. Pada 30 Agustus, sepuluh tahun silam, warga Timor Timur memilih dalam sebuah jajak pendapat: tetap bergabung dengan Republik Indonesia dengan status otonomi khusus atau merdeka.

Habibie adalah orang paling berperan dalam ide jajak pendapat tersebut. Dan, itu disokong alasan yang kuat. Resmi diklaim menjadi propinsi ke-27 sejak Juli 1976, bekas koloni Portugis itu selalu memercikkan masalah ke wajah Indonesia. Dunia internasional tak bisa menerima klaim tersebut. Di Timor Timur sendiri, aksi penolakan terhadap Republik Indonesia tak pernah padam. “Ini ibarat kerikil dalam sepatu,” kata Ali Alatas, sosok yang lama menjadi menteri luar negeri di masa Orde Baru.
 
Sebelumnya,  pada 1976 hingga 1982, masalah  Timor Timur secara tetap menghiasi agenda sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa  (PBB). Karena tak kunjung tuntas, pada 1983, PBB  menyerahkan persoalan itu kepada kedua negara, Indonesia dan Portugal. Kedua negara lalu menggelar serangkaian dialog segi tiga dengan melibatkan Sekjen PBB. Namun, dialog itu pun tak mendulang hasil memuaskan. Alih-alih begitu, meletus insiden Santa Cruz pada November 1991 yang makin menyudutkan posisi Indonesia.

Lalu, muncul Habibie,  pengganti Soeharto, yang coba mengeluarkan kerikil tersebut. Pada awal 1999, ia mengajukan proposal jajak pendapat untuk rakyat Timor Timur. Opsinya dua: menerima otonomi khusus atau memisahkan diri dari Indonesia. “Setelah 22 tahun kita mengalami sejarah kebersamaan dengan rakyat Timor Timor, ternyata tidak  mencukupi bagi rakyat Timor Timur untuk menyatu dengan kita, maka kiranya adalah wajar dan bijaksana, bahkan demokratis dan konstitusional , bila wakil-wakil rakyat yang kelak akan terpilih di MPR, diusulkan untuk mempertimbangkan, agar dapat kiranya Timor Timur secara terhormat, secara baik-baik berpisah dengan Negara Kesatuan RI,” tulis BJ Habibie dalam memoarnya berjudul Detik-detik yang Menentukan (2006).

Usulan referendum sejatinya sudah didesakkan bertahun-tahun sebelumnya dalam forum-forum internasional kepada Indonesia. Tapi, Habibie menolak referendum, ia memilih jajak pendapat. Perbedaannya, referendum langsung menghasilkan keputusan final: tetap bersama atau bercerai. Jajak pendapat masih membutuhkan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Lembaga itu bisa saja menolak hasil jajak pendapat.

Mencermati keputusan ini, majalah TEMPO dalam rubrik Opini menulis, “Kini pemerintahan Habibie seakan-akan menetak simpul Raja Gordius: dengan satu pukulan, melepaskan diri dari pelbagai kesulitan. Kesulitan diplomatik, yang ada hubungannya dengan bantuan ekonomi. Kesulitan pembiayaan, yang kian mencekik dalam krisis ekonomi sekarang. Kesulitan legitimasi, karena ia dianggap hanya kelanjutan Orde Baru.”

****

Ali AlatasPada awal Mei 1999, Menteri Luar Negeri Ali Alatas terbang ke New York. Di markas besar Perserikatan Bangsa-bangsa, ditandatangani Perjanjian Tripartit antara Indonesia, Portugal, dan PBB yang diwakili menteri luar negeri masing-masing dan Sekretaris Jenderal PBB.  Sebulan kemudian, 11 Juni 1999, dibentuk United Nations Mission in East Timor (UNAMET). Institusi ini  bertanggung jawab melaksanakan jajak pendapat. Tanggal 30 Agustus ditetapkan sebagai waktu pelaksanaan jajak pendapat—sebelumnya sempat dijadwalkan pada 8 Agustus.

Lalu, persiapan-persiapan pun digelar. Tak urung, gesekan-gesekan antar pendukung pro-kemerdekaan dan pro-integrasi terjadi. Bahkan, sampai menimbulkan korban jiwa. Dalam catatan Liputan6.com, pada 26 Agustus misalnya,  terjadi pertikaian  di sekitar jembatan Kuluhun, Dili Timur,  yang mengakibatkan empat tewas dan belasan lain luka-luka. Menurut saksi mata di lokasi kejadian, peristiwa itu diawali pelemparan batu oleh kelompok pro-kemerdekaan terhadap sebuah truk kelompok pro-integrasi yang sedang berkampanye.

Pada hari yang sama, BJ Habibie memutuskan member grasi kepada  terpidana pemimpin Fretilin, Jose Alexandre Xanana Gusmao. "Dia akan  dibebaskan sekitar 15 September 1999," kata Menteri Sekretaris Negara/Menteri Kehakiman saat itu Muladi  kepada pers.  Sekitar 20 tahun bergerilya, Xanana ditangkap tentara Indonesia pada 20 November 1992.

****

Empat hari kemudian, rakyat Timor Timur memberikan suara. Suhu politik kian memanas saat masa penantian pengumuman hasil jajak pendapat. Pada 4 September 1999 hasil jajak pendapat diumumkan. Ternyata 78,5% rakyat Timor Timur yang memberikan suara menyatakan memilih merdeka.

Hanya dalam hitungan jam setelah hasil diumumkan, aksi kekerasan mulai merebak. Marah mendengar hasil ini, kaum pro-integrasi memburu kaum pro-kemerdekaan.  Lebih dari 1.000 orang tewas. Tak hanya itu, pembakaran rumah dan bangunan lain juga dilakukan. Infrastruktur dihancurkan. TNI akhirnya tiba tapi kerusakan sudah begitu parah.

Pada 5 September 1999, seusai berkunjung ke Timor Timur, Menkopolkam Feisal Tandjung, Menhankam/Pangab Wiranto, Menlu Ali Alatas serta Menkeh dan HAM Yusril, dilakukan evaluasi. Dari hasil evaluasi tersebut, akhirnya Wiranto mengusulkan kepada Presiden Habibie untuk menetapkan status darurat militer di wilayah tersebut.  Akhirnya, pada 6 September 1999, tepat pukul 07.00 WIB diberlakukan keadaan darurat miilter, dan komando keamanan dialihkan kepada Penguasa Darurat Militer Mayjen Kiki Syahnakri.

Pada 20 September 1999, pasukan penjaga perdamaian PBB dengan nama International Force for East Timor (INTERFET) tiba. Kekerasan sepenuhnya bisa diakhiri. Saat keamanan sudah bisa dikendalikan, pada akhir Oktober 1999, United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET) mulai bekerja sebagai pemegang kekuasaan sementara.

****

Perihal aksi kekerasan itu, Indonesia kena getah. Belakangan, sejumlah perwira militer dan polisi diseret ke pengadilan hak asasi manusia ad hoc. Menanggapi hal ini, Habibie menyatakan, pemerintah Indonesia tak bisa mencegah kerusuhan tersebut. Pasalnya, pengumuman hasil jajak pendapat dipercepat. "Saya minta diberikan waktu, jangan cepat-cepat diumumkan. Janjinya akan diumumkan 7 September, tahunya dipercepat tanggal 4," kata Habibie saat menjadi saksi di Pengadilan HAM ad hoc Jakarta Pusat pada 20 Maret 2003. Tentara Indonesia masih dalam perjalanan  saat hasil diumumkan.

Lebih menonjok dibandingkan Habibie, mantan Pengdam IX Udayana di saat kejadian, Mayor Jenderal (Purn) Adam Damiri, mengatakan bahwa segala bentuk kerusuhan dan kekerasan yang terjadi setelah jajak pendapat merupakan tanggung jawab dari UNAMET. "Yang paling bertanggung jawab adalah UNAMET. Indonesia bukan bagian dari UNAMET, hanya mengawal dan mengantar jajak pendapat ," ujar Adam dalam dengar pendapat di hadapan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia Timor Leste di Jakarta, akhir Maret 2007.

Sekadar mengingatkan, pengadilan HAM ad hoc memvonis Adam tiga tahun penjara, Agustus 2003. Setahun kemudian, majelis banding Pengadilan HAM ad hoc Jakarta membebaskannya. Menurut Adam, serangkaian kejadian kekerasan dan kerusuhan tersebut dipicu sikap UNAMET yang memihak kaum pro-kemerdekaan. Menurutnya, hal ini merupakan tindakan institusi, bukan merupakan perilaku para oknum.

Adam menuding, UNAMET juga melakukan kecurangan. Misalnya, dalam soal perekrutan staf lokal, penempatan tempat pemungutan suara (TPS), pengangkutan kotak suara yang tak dikawal polisi, penghitungan tidak di TPS, dan penolakan kehadiran pemantau dari Indonesia.

****

Pada ujungnya, keputusan MPR menentukan. Pada 19 Oktober 1999, lembaga tertinggi itu mengeluarkan Ketetapan MPR No. V  Tahun 1999 tentang  Penentuan Pendapat di Timor Timur. Inti dari produk hukum ini adalah mengakui hasil jajak pendapat di Timor  Timur dan menyatakan wilayah itu bukan lagi merupakan bagian dari Republik Indonesia. M. Amien Rais saat itu menjadi ketua MPR.

Pada 20 Mei 2002, pemerintahan Timor Timur resmi berjalan setelah menerima penyerahan kekuasaan dari UNTAET. Xanana menjadi presiden pertama republik tersebut. Ia didamping Mari Alkatiri sebagai perdana menteri. (ROM)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini