Sukses

Terancamnya Kebebasan Berpendapat

Kebebasan mengeluarkan pendapat di Indonesia terancam. Kini, banyak pebisnis yang memanfaatkan pasal pencemaran nama baik untuk melanggengkan kepentingannya.

Liputan6.com, Jakarta: Kebebasan mengeluarkan pendapat di Indonesia menghadapi ujian berat. Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga terpaksa merasakan dinginnya sel tahanan selama dua minggu hanya gara-gara mengeluh mengenai pelayanan Rumah Sakit Omni Internasioal, Tangerang, Banten, di surat elektronik. Nasib serupa juga dialami oleh Khoe Seng Seng. Warga Pejagalan, Jakarta Utara itu harus berurusan dengan hukum karena menulis surat pembaca mengenai transaksi jual beli rumah toko (ruko) Mangga Dua di berbagai media massa. Ancaman pidana pun masih mengancam mereka berdua. 

Banyaknya kasus pidana dengan dalih pencemaran nama baik sangatlah mengkhawatirkan. Anggota Dewan Pers Bambang Harymurti mengatakan ancaman terhadap kebebasan berpendapat baik dari pers ataupun masyarakat saat ini tidak hanya berasal dari pemerintah. “Tapi dari pebisnis yang bisa membayar oknum penegak hukum. Ini paling berbahaya,” ujarnya ketika dihubungi Liputan6.com di Jakarta, baru-baru ini.

Padahal, kebebasan berpendapat dijamin secara internasional pada Pasal 19 Pernyataan Umum Hak-Hak Manusia (HAM) yang diumumkan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948. Pernyataan tersebut berbunyi setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; dan hak ini termasuk kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa gangguan serta untuk mencari, menerima, dan berbagi informasi serta gagasan melalui media apapun dan tanpa mengindahkan perbatasan negara.

Bambang mengatakan, pusat polemik ini harus dihilangkan dari sistem hukum Indonesia. Untuk itu, Bambang mengimbau kepada seluruh masyarakat dan perusahaan media untuk bersatu menuntut dihapuskannya aturan tersebut. “Bolehlah secara bisnis bersaing, tapi kita harus bersatu,” katanya.

Dia mengatakan saat ini puluhan negara telah menghapus aturan pencemaran nama baik. Kini. pasal-pasal defamation, libel, slander, dan insult hanya dipertahankan dalam hukum perdata.

Mahkamah Konstutisi (MK) sudah dua kali menolak penghapusan pasal pencemaran nama baik, baik dari KUHP maupun dari UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Meski begitu, Bambang mengatakan, pihaknya tetap akan mengajukan judicial review ke MK. "Kami akan segera mengajukan lagi," katanya.  

Keberadaan aturan tersebut memang meresahkan. Bambang mencontohkan kasus yang menimpa Pemimpin Redaksi Harian Media Sulut, Doan Tagah. Saat ini, Kepolisian Daerah Sulawesi Utara menahan dan memeriksa Tagah karena tuduhan pencemaran nama baik dan penghinaan terkait persidangan Wali Kota Manado Jimmy Rimba Rogi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). “Padahal sudah disidang, ini benar-benar pasal karet,” ujar Bambang.

Khoe pun sependapat dengan Bambang. “Itu memang pasal karet, asal bisa bayar duit ke oknum aparat bisa mengintimidasi orang untuk tidak berpendapat,” kata Khoe.

Dia pun meminta pemerintah untuk mencabut aturan tersebut karena rawan disalahgunakan. “Minimal dipertimbangkan,” kata Khoe.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.