Sukses

Mulyono: Bromo Adalah Istri Pertama Saya

Semangat juang tanpa pamrih terlihat dalam diri Mulyono. Petugas Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) ini telah mengabdikan diri untuk masyarakat sekitar Gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur, sejak empat tahun silam.

Liputan6.com, Probolinggo: Menjaga dan memantau keadaan gunung berapi rupanya bukan pekerjaan mudah. Selain dituntut memiliki dedikasi tinggi, nyawa pun kerap menjadi taruhan. Tak heran jika pekerjaan ini tidak banyak diminati. Di saat tidak ada yang mau melakukannya, sekelompok orang mulai menyingsingkan lengan baju dan memberikan yang terbaik demi keselamatan bersama.

Semangat juang tanpa pamrih terlihat dalam diri Mulyono. Petugas Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) ini telah mengabdikan diri untuk masyarakat sekitar Gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur, sejak empat tahun silam. Walau berpisah jauh daru keluarga, Mulyono mengaku mencintai pekerjaan ini.

"Bromo itu sudah seperti istri saya sendiri. Istri pertama saya Bromo, kalau istri kedua ya ada di rumah." ungkap Mulyono kepada Liputan6.com, Selasa (30/11).

Pada saat Bromo ditetapkan berstatus Awas, istri dan keempat anak Mulyono di Garut, Jawa Barat, mulai dilanda kecemasan. Mereka kerap menghubungi untuk sekedar menanyakan kabar sang ayah. "Keluarga saya telepon terus, saya cuma bisa bilang jangan khawatir, bapak ada dalam lindungan Allah," kata Mulyono.

Mulyono yang memiliki ketertarikan terhadap alam menceritakan suka duka selama bertugas sebagai petugas pemantau Bromo. Pernah pada suatu waktu, di awal masa tugas, ia sempat merasa begitu kesepian dan dilanda rindu yang luar biasa terhadap kampung halaman (home-sick). Pria berumur 50 tahun itu rupanya belum terbiasa hidup terisolasi di atas gunung. "Hidup di sini kemana-mana jauh, tetangga jauh, pasar jauh, semua jauh," ujarnya.

Waktu berlalu dan Mulyono mulai kerasan tinggal di Bromo. Hari demi hari ia lewati dengan penuh suka cita. Pekerjaan yang cukup menyedot pikiran dan stamina itu menjadi bagian yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan Mulyono. Walau hanya mendapat gaji sekitar Rp 2 juta per bulan, Mulyono tidak pernah berniat mencari pekerjaan lain.

"Allah sudah mentakdirkan saya bersama Bromo. Dari sinilah saya bisa menafkahi keluarga," kata Mulyono.

Karena cukup lama tinggal di Bromo, lambat laun Mulyono mulai mengenal adat setempat. Ia takjub oleh perilaku masyarakat Tengger yang begitu menghormati Bromo. Di saat gunung setinggi 2329 meter itu belum berstatus Awas, hampir setiap hari warga mengunjungi pura di sekitar kawah Bromo untuk memberikan sesajen kepada para leluhur terdahulu.

Di pertengahan tahun, pada saat bulan purnama, Mulyono menyaksikan pemandangan yang luar biasa. Hampir seluruh warga sekitar Bromo beramai-ramai mengunjungi pura di kawasan lautan pasir Kaldera. Dalam upacara yang dimulai sejak dini hari itu, warga asli Tengger melantunkan doa-doa dan memberi "makan" Bromo dengan berbagai macam sesajen. Ritual tahunan yang diadakan tiap bulan kesepuluh dalam penanggalan Jawa itu disebu Kasada atau Kasodo.

"Saya menghormati masyarakat sini, saya juga menghormati upacara Kasodo," pungkas Mulyono. "Tapi saya enggak pernah ikut beri sesajen, saya kan orang Islam. Saya berpedoman agama mereka untuk mereka, agama saya untuk saya," tambahnya.

Saat ini Mulyono berharap aktivitas vulkanik Bromo dapat kembali seperti sedia kala. Ia merindukan saat-saat di mana Bromo dipadati ratusan wisatawan domestik maupun mancanegara. Sambil menunggu hal tersebut terjadi, Mulyono bertekad akan terus menjalanlan tugas dengan baik. Terima kasih pak Mulyono, teruskan perjuanganmu... (APY/ULF)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.